Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, Juni 05, 2008

Salafus Sholeh Antara Ilmu dan Iman

Penulis: Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Al Jibrin hafizhohulloh
Diterjemahkan Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi
Keimanan Salaf
Tidak diragukan lagi bahwa keimanan yang mendasar adalah keyakinan yang mengakar dalam hati. Keyakinan (aqidah tersebut) harus memiliki sandaran. Sesuatu yang memiliki sandaran, dia akan kuat menancap, tidak dikhawatirkan akan goyang dan roboh. Sebagaimana tiang-tiang penyangga masjid atau bangunan lainnya yang menjadi tiang tumpuan bagi atap. Jika tiang ini memiliki fondasi, kuat, tertanam kokoh di bumi, maka bangunan itu akan kuat dan berfungsi. Sedangkan jika tidak memiliki fondasi, misalnya mengambang di atas permukaan tanah, dan tidak memiliki dasar tempat bertumpu, maka bangunan itu akan runtuh dan roboh atau akan mengalami kejadian yang lain.



Begitu juga dengan ilmu para salaf yang merupakan keyakinan yang kokoh mengakar. Penyebabnya adalah kekuatan dalil yang mereka jadikan pijakan. Yaitu nash-nash (teks) yang jelas, tidak ada kesamaran dan kerancuan. Hal itu karena mereka membangun aqidah di atas dasar-dasar yang kokoh yang ditopang oleh dalil aqli dan naqli. Dalil-dalil naqli yaitu dalil yang mereka dapatkan dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berupa Al Quran dan hadits-hadits. Dalil-dalil aqli yaitu pemandangan yang dilihat oleh fitrah mereka yang masih bersih dan lurus, belum terkotori kebid’ahan dan khurafat atau yang lainnya. Bahkan Alloh membentenginya dari syubhat dan penyimpangan-penyimpangan. Ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mereka tetap eksis di atas aqidah ini dan kekokohannya, dan tetap tidak guncang. Oleh karena itu, syubhat-syubhat tidak berdampak apapun kepada mereka sebagaimana dampaknya kepada yang lain, seperti ahli bid’ah, khawarij dan mu’tazilah.
Mu’tazilah misalnya, memiliki beberapa syubhat yang dijadikan sandaran, akan tetapi syubhat-syubhat tersebut tidak perlu diperhatikan, tidak kuat (rapuh) bahkan syubhat-syubhat itu akan saling menghancurkan.
Syaikhul Islam memiliki sebuah bait syair yang masyhur, yang beliau sebutkan di akhir kitab Aqidah Al Hamuwiyah:
Hujah-hujah kontradiktif seperti kaca yang dipukulkan
Benar-benar dan setiap yang menghancurkan akan hancur
Argumen dan syubhat-syubhat mereka ibarat kaca. Jika anda memiliki dua kaca, yang satu di tangan kanan dan yang satu di tangan kiri, lalu kamu adukan keduanya, bukankah keduanya akan hancur?! begitu pula argumen orang-orang mu’tazilah. Sebab, argumen-argumen logika akan saling membantah satu dengan yang lain, misalnya argumen-argumen golongan qadariyah mematahkan argumen golongan jahmiyah dan begitu seterusnya. Sebagian ulama lain seperti Ibnul Qayyim rohimahulloh dalam kitab “As Shawa’iqul Mursalah” mengumpamakan mereka dalam syair. Beliau rohimahulloh mengatakan:
Buatlah perumpamaan dengan dua orang buta yang dilepas
Dalam kegelapan yang mereka tidak mengetahui jalanan
Mereka bertabrakan dengan tangan dan tongkatnya
Pukulan yang membuat arena pertempuran menjadi panjang
Hingga bila telah bosan berperang, kamu melihat mereka
Dalam keadaan terluka atau meninggal atau terbunuh
Kedua orang buta saling memaafkan hingga mengadakan
Perdamaian lalu teriakannya bertambah memuncak tinggi
Ini adalah perumpamaan argumen-argumen mereka. Mereka ibarat dua orang buta, jika keduanya berbenturan karena tidak mengerti jalan dan masing-masing tidak mengerti posisi yang lain, salah seorang di antara mereka mengira bahwa temannya ini sengaja. Maka ia akan memukulnya dengan tangan dan tongkat. Lalu kamu akan lihat, mereka saling pukul memukul.
Beginilah keadaan syubhat-syubhat orang-orang ini. Saat kebenaran (al haq) itu masih unggul dan menonjol, maka syubhat-syubhat itu tidak akan berdampak sama sekali. Karena syubhat-syubhat ini hanya berasaskan kebohongan dan praduga yang tidak bisa diterima, bahkan syubhat-syubhat itu saling menjatuhkan. Oleh karena itu sering disebutkan bahwa sebagian di antara mereka merusak argumen mereka sendiri. Seperti ahlul bid’ah, salah satu di antara mereka membuat-buat argumen dan dijadikan sebagai dalil, lalu dia batalkan sendiri argumen ini atau dilawan oleh syaikhnya atau muridnya. Ini menunjukkan bahwa syubhat-syubhat tidak berlandaskan ilmu yang kokoh.
Sedangkan hujjah-hujjah (argumen-argumen) para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in berdiri tegak di atas dalil kokoh. Sehingga syubhat-syubhat tidak meninggalkan efek sama sekali, karena kekokohan aqidah, kekuatan iman para salaf dan mengakar iman dalam hati-hati mereka.
Beberapa Contoh Kekokohan Iman Para Salaf
Tidak disangsikan lagi ada beberapa kisah para sahabat, baik yang laki ataupun wanita yang dapat menjadi dalil (bukti) kemantapan iman mereka dan kekokohan aqidah keyakinan mereka. Terlebih lagi ilmu-ilmu yang mereka ketahui dan amalkan. Bukankah ada di antara mereka yang menaklukkan beberapa negara, berjihad dengan benar di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga Alloh menangkan dien ini dengan perantaraan mereka dalam waktu singkat. Mereka berhasil menaklukkan beberapa negara dalam waktu kurang dari delapan puluh tahun. Kenapa? Karena iman mereka kokoh mengakar dalam hati-hati mereka, lalu bersinergi dengan kekuatan dan melakukan peperangan dengan gagah berani. Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala memenangkan agama ini dengan perantara tangan mereka, lalu Islam berhasil merambah bumi bagian timur dan barat, didengar oleh penduduk yang jauh dan dekat.
Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan bukti kekokohan iman mereka. Iman yang kuat melahirkan keberanian pada diri pemiliknya. Hal ini disebabkan karena dia tahu bahwa dunia hanyalah perhiasan yang menipu sedangkan Akhirat adalah negeri abadi.
Jadi keimanannya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, kepada hari akhir, surga dan neraka dan adanya pahala, ini semua memotivasi dia untuk siap mengorbankan dirinya dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela. Maka dia akan mengucapkan perkataan yang haq di hadapan siapa saja, tidak berbuat nifaq dan tidak berpura-pura. Dia juga akan (termotivasi untuk) menginfakkan apa yang dimilikinya di jalan Alloh demi mencapai ridha-Nya, sampai-sampai di malam harinya dia tidak memiliki makanan apapun juga, karena percaya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk menjelaskan betapa kuat dan kokoh keimanan para salaf, kami akan membawakan dua contoh dengan singkat.
Keimanan Abu Bakar As Shiddiq -rodhiallohu ‘anhu-
Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabatnya untuk bersedekah, Abu Bakar rodhiallohu ‘anhu datang dengan membawa semua hartanya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan buat keluargamu?” Abu Bakar menjawab: “Aku tinggalkan Alloh dan Rasul-Nya buat mereka.” Maksudnya saya yakin bahwa Alloh akan memberikan rezeki kepada mereka. Bukankah ini bukti kekuatan dan kekokohan iman mereka?!
Keimanan Imam Ahmad –rohimahulloh-
Istrinya yaitu Ummu Abdillah bercerita tentang Imam Ahmad, “Yang paling membuat Imam Ahmad bahagia adalah jika aku mengatakan kepadanya, ‘Gandum sudah habis tanpa sisa, kita tidak memiliki gandum lagi yaitu makanan.’ Beliau rohimahulloh mengatakan: ‘Kalau begitu, sekarang harapanku akan bergantung kepada Alloh. Dan saya tahu bahwa Dialah yang memberikan rezeki, dan mempermudah sebab mendapatkannya (usaha).’”
Ini karena mereka tahu bahwa semua yang di sisi Alloh itu akan senantiasa kekal dan ada. Ini semua merupakan buah dari keimanan yang benar dan lurus yang di antara dalil-dalinya adalah nash-nash yang shahih.
Diantara Atsar Keimanan Salaf
Di antara Atsar keimanan Salaf juga adalah penampakan kebenaran di hadapan orang yang menentang dan menyelisihinya. Sebagai contoh, pada abad ketiga pada zaman imam Ahmad sebagian ahli bid’ah berhasil mempengaruhi sebagian kholifah dan mereka mengajak kepada bid’ah Jahmiyah pengingkar adanya sifat-sifat bagi Alloh dan berpendapat bahwa Al Quran adalah makhluk bukan kalam Alloh. Namun imam Ahmad kokoh bertahan dan sabar mendapatkan siksaan di penjara berupa pukulan, cambukan dan sebagainya. Bukankah ini bukti kekuatan iman?! Iman yang kokoh mengakar di hati beliau dan mendorongnya untuk sabar. Karena kekhawatiran pada umat ini beliau berjihad dengan sungguh-sungguh dan menghadapi orang-orang sesat dan penyeru kepada kesesatan tersebut, agar dapat memenangkan kebenaran dari kebatilan sehingga kebatilan itu pun menjadi lebur (hilang). Ketika imam Ahmad istiqomah di atas kebenaran maka umatnya pun bersama beliau seluruhnya dan seluruh salaf bersaksi bahwa beliau berada di atas kebenaran dan didukung dalil yang kuat.
Apa yang membuatnya dapat bersabar menahan gangguan, dipenjara, dipukul dan dicambuk dengan sangat keras dan kuatnya di hadapan orang-orang zalim dari para da’i yang mengajak kepada kesesatan yang telah membohongi kholifah agar memenjara beliau dan mencambuknya atau membunuhnya?! Satu kepastian yang membuatnya sabar atas hak itu seluruhnya adalah rasa percaya bahwa ia berada di atas kebenaran dan imannya beliau bahwa beliau di atas keyakinan benar dan yang selainnya adalah batil. Juga pendapat mereka batil tidak dibangun di atas dalil. Ini jelas-jelas adalah keimanan yang kokoh.
Siapa yang ingin memantapkan keimanan dalam hatinya, maka hendaklah dia mengambil keimanan tersebut dari sumbernya yang masih murni yaitu kitab-kitab sunnah dan kitab-kitab yang diisi dengan penjelasan para ulama tentang aqidah salaf dan dalil-dalil mereka.
Dan hendaknya dia juga tahu sedikit mengenai sejarah hidup para salaf dan penjelasan mengenai aqidah mereka. Tidak diragukan lagi bahwa aqidah mereka adalah aqidah firqah najiyah (golongan yang selamat) diberitahukan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka berada di atas Al Haq. Sebagaimana dalam sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam:
سَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً قِيْلَ مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَ أَصْحَابِيْ
“… dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk dalam neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, Wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Orang yang berjalan di atas jalan yang aku tempuh saat ini dengan para sahabatku.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 3/145, Ibnu Maajah no. 3993 dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu, Imam Ad Darimiy 2/241, Abu Daud no. 4597 dari Muawiyah bin Abu Sufyan, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi no. 2641 dari Abdullah bin Umar rodhiallohu ‘anhuma)
Persaksian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka adalah firqah najiyah (golongan yang selamat) merupakan bukti bahwa mereka berada di atas al haq, baik yang berkaitan dengan aqidah atau masalah-masalah furu’ (cabang-cabang). Dan di dalam sabda beliau itu juga terdapat penjelasan bahwa generasi setelah mereka lebih sedikit kebenarannya, meskipun generasi setelah mereka lebih ringan kesalahan dibandingkan dengan generasi berikutnya.
Maka barang siapa yang mengikuti para salaf dalam masalah aqidah, ilmu, amal, maka bisa diharapkan dia akan dikumpulkan bersama para salaf tersebut. Sedangkan orang yang menyimpang dari jalan yang benar dan meniti jalan kebid’ahan, berarti dia sudah meniti salah satu jalan di antara jalan-jalan kesesatan atau sudah terjerumus dalam kesesatan.
Begitu juga orang-orang yang mendalami ilmu-ilmu yang tidak syar’i dan lebih mengutamakannya dari pada ilmu-ilmu syar’i, seperti orang yang sibuk mempelajari ilmu filsafat yang merupakan lawan ilmu syar’i. Ilmu yang benar itu adalah agama Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan warisan para nabi. Barang siapa tersibukkan oleh ilmu-ilmu yang bertentangan dengan ilmu syar’i atau jauh dari ilmu syar’i, maka tidak diragukan lagi orang ini telah menghalangi dirinya sendiri dari ilmu yang benar.
Kami tidak mengatakan, bahwa semua orang tidak boleh mempelajari kecuali ayat-ayat dan hadits-hadits atau yang semakna. Akan tetapi boleh saja mempelajari ilmu-ilmu modern tapi dengan syarat tidak bertentangan dengan ilmu syariat, tidak mengurangi hak ilmu syariat, dan memberikan perhatian yang cukup kepada ilmu syariat, sehingga dia bisa memahami agamanya, baik yang berkaitan dengan aqidah atau dengan amal perbuatan. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk orang-orang yang istiqomah, orang yang berjalan di atas jalannya para salaf, termasuk orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan termasuk orang-orang yang meniti jalan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Wallohu a’lam wa ahkam. Washallohu ‘ala nabiyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallama tasliman katsiran
sumber : www.muslim.or.id

0 komentar