Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, Oktober 31, 2007

Berjalanlah di dunia ini bagaikan seorang pengembara

Berjalanlah di Dunia ini bagaikan seorang Pengembara
Disusun Oleh :
Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
Alumni S-2 Universitas Islam Madinah, KSA
dan Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah, KSA
Alhamdulillah, Washsholatu wasallamu `alaa asyrofil anbiyaai nabiyyinaa muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi … Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi
setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari kita selalu bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan dengan dakwah salafiyyah di Indonesia untuk sedikit menoleh kebelakang, guna menilik kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini.
Umar bin Khaththab pernah berkata :
Artinya : bermuhasabahlah (intropeksi dirilah) sebelum kalian dihisab. ( HR. At
Tirmidzi dan Ibnu Syaibah ). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak untuk bersama-sama kita lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang telah merasakan adanya berbagai aral dan berbagai badai yang sedang menerpa bahtera dakwah ini. Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa,bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan tenggelam. Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh
Rasulullah b bahtera dakwah ini.. tatkala beliau bersabda :Artinya : Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan ( syariat ) allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagibagi tempat di sebuah kapal / ahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang
mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata : seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila
mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginnanya, niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun akan selamat. ( HR Bukhori ).
Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita akan melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama, kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam
permasalahan tersebut adalah :
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar
2. Sikap tidak jujur terhadap diri ssendiri
3. Kedudukan uang transport bagi seorang da’i.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliranaliran)
yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama’ah.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan
para ulama’.
Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut satu
demi satu :
Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar Bila kita membaca nasehatnasehat
para ulama’ -baik ulama’- terdahulu maupun ulama’ zaman sekarangdalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan seterusnya,. sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar. Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari hal-hal lainnya. Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim, adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian
ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau tauhid asma’ wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang
belum tahu apa-apa ? Nah…inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul
ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam , tentunya ia tidak akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para asatidzah dan du’at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya.
Nah…kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para asatidzah dan du’at-du’at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai fitnah dimasyarakat.
Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam
kitab Al Jami’, keduanya dengan menyebutkan sanadnya).
Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami’ah Al Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu beberapa asatidzah -termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh
yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna memohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh tersebut bernama :”Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil” (Penulis buku Manhaj dan Aqidah Imam Syafi’iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi’I), dan ketika beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu. Dan diantara pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka :”Sebutkan rukun-rukun sholat?” Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memberanikan diri untuk menjawab, dan
berkata: “Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya”. Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka : “Siapakah yang lebih kafir, ahlul bid’ah ataukah yahudi?”, maka dengan sekonyong-konyong orang tersebut berkata : Ahlul bid’ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala
syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan ini dan berkata: “Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!, Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!. Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang ustadz yang berceramah dan berkata : “Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit”. Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid’ah banyak dari mereka tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?!
Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian
gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.Contoh lain : Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama yang ditulis oleh ulama’-ulama’ zaman sekarang, seperti Syekh Rabi’ bin Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita
langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut,
akan tetapi, sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga. 3
Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da’i yang sedang
ditahdzir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi
kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun
kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melalaikan
ilmu.Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombangambingkanoleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih
lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah : Sering kali kita merasa cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak
mengenal hakikat. Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam
ini, adalah merupakan istilah syar’i, sehingga defiinisi dan maknanyapun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata “sholat” secara bahasa kata ini bermakna “doa”, akan tetapi dalam syariat kata tersebut
memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata “sholat”, maka kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah -istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata
“sholat” disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat. Nah…sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal
definisi kata “sholat”, lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya?. Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata “tasyabbuh”, apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syaratsyarat, rukun-rukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ?
Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :
Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : “TatkalaRasulullah b hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah b membuat stempel dari perak”. (HR Bukhori dan Muslim)
Bukankah Rasulullah b dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid’ah diharamkan, akan
tetapi ada beberapa kriteria /syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.
2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.
4
3. Adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a’malu binniyaati /
sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat…) Sebagai contoh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang, berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah
dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh? Yang lebih memilukan adalah nasib istilah “manhaj salaf”, betapa sering kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah
sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepadadiri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj salaf…dst?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang -menurut hemat saya- sampai saat ini di negri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan
dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas. Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:adalah sikap meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai ilmu syariat.
Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata : “Yang penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh
Rasulullah b, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah. Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar (Lc) yang ia peroleh dari Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah. Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : Barangsiapa yang tidak memperoleh hal-hal yangh prinsip, maka dia tidak akan mencapai ilmu.
Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengatakan ungkapan ini : “Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang berhasil menjadi ulma’, tanpa mempelajari ilmu-ilmu tersebut?”
5
Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna,
hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut. Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan
sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita semua. Ahlis sunnah wal jama’ah telah sepakat dalam mendefinisikan “iman”, bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan. Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu
tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir, keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa, mandi janabah dll. Imam An Nawawi berkata : “Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang
kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang
mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer, menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila
orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir.” ( Syarah Shohih Muslim1/250 )
Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban
kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan diharamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah
disepakati akan kekafirannya”. (Majmu’ Fatawa 12/496). Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa
yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelumsholat. Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama’ah. Untuk lebih jelas lagi. ilahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syaratsyarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.
6
Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri
Rasulullah b bersabda : Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam bergaul dan bermasyarakat, yaitu : sebelum kita mengucapkan perkataan atau bersilap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada hati nurani kita sendiri “apakah saya suka bila diperlakukan dengan perlakuan yang akan saya lakukan ini?” Bila jawabannya adalah “Ya, saya suka”, maka silahkan untuk dilakukan, dan bila ternyata jawabannya adalah “Tidak”, maka jangan lakukan hal tersebut. Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya. Seandainya para da’i, dan ustadz yang ada di negri kita, -terutama mereka yang mengaku bermanhaj salaf-mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya. Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai contoh : Yayasan “AL HARAMAIN” yang ada dikota Riyadh, dalam beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang lulus dari Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah -tanpa terkecuali-, sumbangan berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya sumbangan tersebut dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal, dan kadang 500 reyal. Nah…Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan berkata, kalo demikian… alumni jami’ah yang sekarang sudah malang melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima sumbangan tersebut ???!! Maka jawaban pertanyaan ini -dan saya tahu sendiri- adalah : “Ya, mereka menerima itu semua dengan kedua tangan terbuka, dan tanpa sedikit ada keragu-raguan”. Pada beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami’ah -yang sekarang ini dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari Yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal, mereka ditanya oleh salah seorang kawan : Kenapa kok mau menerima sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan
sangat lugu berkata : “Lho…kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain”. Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini sudah berjalan beberapa periode sebelumnya.
7
Dan yang mengherankan pula, setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu berasal dari Al Haramain, keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi sumbangan tersebut, dengan harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang jatuh dari sakunya. Contoh lain : Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al Jami’ah Al Islamiyyah , mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan secara kolektif dengan menggunakan kontainer ini adalah awal pengiriman kitab dengan cara ini di Al Jami’ah Al Islamiyyah ). Pengiriman tersebut didanai oleh Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkaskan di negara Kuwait.
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami’ah Al Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan YayasanIhya `ut Turots : “Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum;karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya’ut Turots ??
Apakah Al Haramain & Ihya’ at Turots menjadi yayasan salafy, bila yang menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafy /surury, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang selain antum??!. Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?”
Contoh lain : Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat untuk bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan, maka fatwa syekh tersebut, lenyap entah kemana…., Saya tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi.Oleh karena itu -menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim.
Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam’an, beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah b tentang Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm(perbuatan dosa), maka beliau bersabda:”Al Birru adalah akhlaq / budi pekerti yang baik, dan Al Itsmu adalah segala yang engkau merasakan adanya kejanggalan dan keragu-raguan dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa tidak suka bila diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim) Kedudukan uang transportasi bagi seorang da’i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, saya
tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas; karena hal itu sudah diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam kesempatan ini, adalah ajakan kepada seluruh du’at dan asatidzah, agar mengkaji ulang hukum kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang
transportasi.
8
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi, apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan pengajian/ceramah/dauroh dll, benar-benar uang transportasi? Ataukah uang transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat ganda, dan menurut yang saya ketahui- alternatif inilah yang terjadi, transportasi inilah yang terjadi, transportasi pulang pergi yang seharusnya hanya misalnya Rp. 50.000,- akan tetapi amplop yang diterima berisikanminimal Rp. 100.000,- Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang tersebut, sebab para ulama’ semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat dalam
menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan, dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani rahimahullah. Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa ustadz yang Alhamdulillah telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan Alhamdulillah pula telah memiliki santri yang cukup banyak, lebih mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren terlebih-lebih undangan dari luar kota dibandingkan mengajar di pesantren
yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz tersebut, bila sudah keluar kota untuk berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya, kecuali bila sudah kecapekan, dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit. Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban mengajar dipesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota? Bukankah para santri telah walaupun sedikit membayar SPP, sehingga telah menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh
pesantren? Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? Bukankah
keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? Yaitu mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah dimasyarakat sekitar lokasi pesantren? Diantara kisah yang sampai kepada saya : Bahwa daerah-daerah yang masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf) berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin. Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A) bermusuhan
dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A) dikarenakan beberapa hal menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A), maka Ustadz (A) berang seakan sedang kebakaran kumis, lalu mengatakan bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya.. Usut punya usut, ternyata dahulunya anak murid tersebut biasanya selalu memberikan sumbangan kepada Ustadz (A), dan setelah menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi mengucurkan sumbangan tersebut.
9
Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang memiliki manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita yang dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu’tazili dll. Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, yang telah memberi hidayah kepada kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati, dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap kita, jangan sampai pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih terpengaruh dengan pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan firqoh-firqoh
tersebut. Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena kita akan selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu -karena kebodohan- saya juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa iba, dan kasihan terhadap orang tersebut, akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan
segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa mendapatkan hidayah, sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah. Marilah kita renungkan bersama ayat berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kpdmu : “Kamu bukan seorang mu’min” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu dahulu,lalu Allah menganugerahkan ni’mat-Nya atas kamu, maka telitilah.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( QS. An Nisaa’ : 94 )
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin -ketika dalam keadaan peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh yang menampakkan keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin, :“Engkau bukanlah seoarang muslim, engkau mengucapkan salam hanya
sekedar takut dibunuh” lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa orang tersebut adalah orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan orang-orang Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana
didapatkan dari mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya. Nah…pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da’i, dan ustadz,
bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih bila terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.
10
Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan
Allah Ta’ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran, masingmasing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang berbeda-beda, ini adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat, tatkala kita berbicara dengan orang lain. Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan tetapi, ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan bisa memahami apa yang kita inhginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa
memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali, akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain, ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan. Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran, maka
begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan tuntas. Hal ini sering kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa memperdulikan pendapat dan alasan kita.
Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini, sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita maka…mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari klaim:”Keras kepala, aqlani, menolak hadits,…hingga vonis mubtadi’”. Sebagai contoh : Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan
tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan pendapatnya dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan dengan gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan baik. Oleh karena itu, saya mengajak para da’i, dan asatidzah untuk lebih banyak belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara
berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara
11
mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan ahlul bid’ah. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan
perantara penjelasan dan penafsiran para ulama’. Merekalah yang yang mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Oleh karena itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman, agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, yaitu :
1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai dengan pemahaman salafush sholih.
2. Pemahaman yang benar dan sempurna terhadap kasus dan permasalahan yang hendak ia hukumi
Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, makaInsya Allah fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi, bilasalah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi kesalahpahaman padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar.
Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memilikipemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter.Sehingga jatuhlah korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa paham terhadap realita yang ada pada zamannya., adalah lebih besar dibanding dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan ada hubungannya dengan nasib manusia di akhirat. Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da’i, dan asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa atau sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan masyarakat kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa tersebut ?
12
Sebagai contoh nyata, Ada dari kalangan ulama’ salaf yang menegaskan: bahwa lebih baik bertetangga dengan kena kera dan babi, dibanding bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid’ah. Seharusnya sebelum kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita sama dengan masyarakat ulama tersebut, masyarakat yang mayoritasnya memahami manhaj salaf?
Contoh lain : Para ulama telah sepakat, bahwa : Barangsiapa yang menyatakan Al quran adalah makhluk, maka ia kafir. Nah…apakah setiap orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut, langsung kita hukumi sebagai orang kafir?? Imam Ahmad, beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini, tatkala mengetahui bahwa Al Makmun (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang
ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad malah berkata : “Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan pemimpin kaum muslilmin (kholifah)”. Contoh lain : Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada
asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah disepakati, beliau menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka beliau memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan adalah
berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid’ah, maka beliau berfatwa : “Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid’ah”, tentunya dengan berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.
Setelah acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh beberapa gelintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginkan, mulailah mereka
mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah. Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan
saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan : bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tatacara tersendiri.
Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut.
13
Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang terjadi akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata : Semoga Allah tidak memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka. Sikap ini -sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila
ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh tersebut memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada
kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.
Oleh karena itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus tertentu, yaitu “Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, sesuai dengan perubahan adat atau keadaan pada orang tersebut”. Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak katak dalam tempurung. Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Dan akhir tulisan ini, saya inginmenekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan alasan serta dalil, bahkan saya sangat mmengharapkan kritikan dan saran dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah dinegri kita. SELESAI
” yang disusun oleh Al Akh Muhammad Arifun Badri, Lc,
MA ( Madinah ,08 Sya’ban 1424 H / 04 Okt 2003) dan disebarkan oleh “Tasjilat dan
Maktabah Ibnu Taimiyah” Jl. Kresna No. 24, Pulosari Rt. 02 / Rw. 04 Kelurahan
Gayam, Kec/Kab. Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, Indonesia
14
Sebuah Tanggapan :
Bisa sebagai bahan perenungan penulis “Bahtera Dakwah Salafiyyah di Lautan
Indonesia”
MUTIARA NASEHAT SYAIKH ALBANY TERHADAP THOLABUL ‘ILM
“Aku nasehatkan untuk saya pribadi khususnya dan untuk saudara saudaraku kaum muslimin pada umumnya agar bertaqwa kepada Allah. Diantara bagian-bagian taqwa yang akan aku nasehatkan adalah : Pertama, Hendaklah kalian menuntut ilmu syar’i dengan ikhlash karena Allah, janganlah ada tujuan-tujuan yang lain seperti mengharapkan sesuatu balasan, ucapan terima kasih atau senang tampil di muka umum. Kedua, diantara penyakit yang menimpa para penuntut ilmu syar’i adalah ujub
dan lupa daratan, dia merasa sudah memiliki ilmu cukup sehingga berani berpendapat sendiri tanpa mengambil bantuan dan penjelasan ulama’ salaf. Sebagaimana mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan taufiq kepada mereka, berupa ilmu yang benar dan adab-adabnya, bahkan
mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan mereka menyangka bahwa mereka telah memiliki kemapanan ilmu sehingga muncul dari mereka pendapatpendapat yang mengguncangkan, tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar berlandaskan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka nampaklah pendapat-pendapat ini dari pemikiran-pemikiran yang tidak matang, mereka menyangka bahwa fatwa-fatwa tersebut adalah ilmu yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Maka, mereka sesat dengan pemikiranpemikiran tersebut dan menyesatkan banyak manusia, dan kalian mengetahui
semuanya diantara dampak negatif dari fenomena tadi adalah munculnya kelompok-kelompok di sebagian negeri islam mengkafirkan kelompok-kelompok lainnya dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, tidak bisa kami kemukakan dalam kesempatan yang singkat ini, karena pertemuan kami ini sekarang khusus sedang memberikan peringatan dan nasehat kepada para penuntut ilmu
dan juru da’wah, oleh karena itu saya nasehatkan saudara-saudara kami dari ahli sunnah dan ahli hadits di seluruh negeri islam agar mereka sabar dalam menuntut ilmu, dan agar mereka tidak tertipu dengan ilmu yang mereka miliki sekarang. Mereka harus mengikuti jalan yang telah digariskan, jangan sekalikali mereka bersandar dengan mengandalkan semata-mata pemahaman mereka atau mereka beri nama dengan ijtihad mereka. Saya sering sekali mendengar dari saudara-saudara kami mereka mengatakan dengan sangat mudahnya, “saya berijtihad” atau “saya berpendapat demikian”
tanpa memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari ucapan-ucapannya.Mereka tidak mengambil bantuan dari kitab-kitab fiqh dan hadits serta pemahaman ulama terhadap kitab-kitab tersebut. Yang ada hanya hawa nafsu dan pemahaman yang dangkal dalam menggunakan dalil, sedangkan
penyebabnya adalah ujub dan lupa daratan. Oleh karena itu, sekali lagi aku nasehatkan kepada para penuntut ilmu agar menjauhi segala akhlak yang tidak islami, di antaranya agar mereka tidak tertipu oleh ilmu yang telah didapatkannya serta tidak tergelincir ke dalam ujub.
15
Ketiga, terakhir, agar mereka menasehati manusia dengan cara yang lebih baik, menjauhi cara-cara yang kasar dan keras dalam berdakwah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl : 125) Allah berfirman dengan ayat tadi karena kebenaran itu sendiri berat atas manusia atau menerimanya, dan berat atas jiwa-jiwa mereka, oleh karena itu
secara umum jiwa manusia sombong untuk menerimanya, kecuali sedikit orang yang dikehendaki Allah untuk langsung menerimanya. Apabila beratnya kebenaran itu atas jiwa manusia ditambah dengan beratnya cara berupa kekasaran dalam da’wah, maka itu berarti menjadikan manusia lari dari
da’wah kebenaran. Kalian tentu mengetahui sabda b: “Sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang membuat orang lari (dari kebenaran). Beliau mengulanginya tiga kali. Sebagi penutup, sayamemohon kepada Allah Ta’ala agar jangan menjadikan kami sebagai orang orang ang membuat orang lain lari dari kebenaran, akan tetapi jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memiliki hikmah dan orang-orang yang mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
——————————————————
Disarikan dari Hayatul Albany, Juz I hal. 452-455 oleh Ustadz Fariq Qoshim
Anuz dalam Buku beliau yang bermanfaat, Fikih Nasehat, diterbitkan oleh Darul
Falah.

Aqidah Al Wasithiyah

Seri Penjelasan Aqidah Al Wasithiyyah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا فَمَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصَْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Amma Ba’du:
Tidak disangsikan lagi, kesempurnaan agama ini adalah nikmat Alloh yang paling besar bagi umat ini. Agama Islam yang ditinggalkan Rosululloh dalam keadaan lengkap, sempurna dan menyeluruh, sehingga terang benderang tidak ada kesamaran sama sekali pada ajarannya. Binasalah orang yang menyimpang darinya dan tidak mau berjalan di atas manhaj Rabbani, manhaj Rosululloh dan para sahabatnya.Demikianlah Rosululloh telah menjelaskan kepada kita, seluruh kebaikan yang dapat mendekatkan ke surga dan telah memperingatkan seluruh kejelekan yang menjauhkan diri kita dari surga. Semua ini agar binasalah orang yang binasa di atas hujjah dan hiduplah orang yang mengikutinya di atas hujjah juga.
Mengenal aqidah yang benar merupakan satu keharusan bagi setiap muslim. Apalagi di masa seperti ini, masa yang penuh dengan usaha penyesatan dan pemurtadan baik melalui kebid’ahan yang samar sampai kepada kekufuran yang paling jelas. Semuanya berkembang dan tumbuh subur dengan pemeliharaan para musuh Alloh dari kalangan syaitan manusia dan jin. Ditambah dengan cara yang mereka tempuh untuk menyukseskan program mereka ini. Sungguh mengerikan dan membuat seorang muslim mengelus dada dan mengerenyutkan dahinya, khawatir di pagi hari jadi seorang muslim dan di sore harinya menjadi kafir. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan ada di depan mata kita semua. Lalu bila menengok keadaan kaum muslimin secara khusus, didapatkan mereka dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Perselisihan, perpecahan dan permusuhan terus tumbuh berkembang dengan suburnya. Mereka tidak ingat akan peringatan Alloh dalam Al Quran:
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan ta’atlah kepada Alloh dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfaal: 46)
Juga tidak ingat akan perintah Alloh untuk mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapatnya kepada Al Quran dan sunnah, sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Demikianlah seharusnya, sebagaimana telah jelas dalam manhaj para sahabat dan tabiin serta orang yang mengikuti jejak mereka dalam berislam. Apalagi dalam permasalahan aqidah, permasalahan yang sangat besar bagi seorang muslim. Tentunya harus mendapatkan perhatian serius jangan sampai menyelisihi ajaran Rosululloh dan para sahabatnya.
Arti Penting Aqidah Salaf
Sudah sepantasnya seorang yang ingin mempelajari aqidah salaf untuk mengetahui arti penting (urgensi) aqidah tersebut. Semua ini untuk memberikan gambaran kedudukan aqidah tersebut dan dapat mendorong untuk lebih semangat mempelajarinya. Terlebih-lebih pada masa sekarang ini; di mana banyak kaum muslimin yang melalaikan hal ini dan tenggelam dalam lautan syahwat dan syubhat.
Arti penting mempelajari aqidah salaf terlahir dari arti penting aqidah itu sendiri. Juga kepada kewajiban bersungguh-sungguh bekerja untuk mengembalikan manusia kepada aqidah tersebut. Hal ini karena beberapa hal:
Pertama
Belajar aqidah salaf termasuk mempelajari ilmu termulia, teragung dan terpenting, karena kemuliaan satu ilmu tergantung dengan zat yang dipelajari (Al maklum) dan Alloh adalah Zat yang Maha Agung dan Maha Mulia. Mengenal Alloh merupakan dasar terpenting semua ilmu. Oleh karena itu imam Abu Hanifah menamakan ilmu aqidah ini sebagai Fiqhul Akbar.
Kedua
Aqidah salaf adalah wasilah terpenting mencapai keridhoan Alloh.
Ketiga
Barisan kaum muslimin dan para da’inya hanya dapat bersatu di atas aqidah ini. Demikian juga kekuatan mereka, tanpa aqidah ini mereka akan berpecah belah. Hal ini dikarenakan aqidah salaf adalah aqidah Al Quran dan sunah serta aqidah generasi pertama umat ini dari kalangan para sahabat. Sehingga seluruh kesatuan dan persatuan yang tidak berlandaskan aqidah ini hasilnya hanyalah kegagalan dan perpecahan.
Keempat
Aqidah salaf membuat seorang muslim mengagungkan nash Al Quran dan Sunnah dan melindunginya dari penolakan makna atau bermain-main dalam menafsirkannya sesuai hawa nafsu dan keinginannya.
Kelima
Aqidah salaf mengikat seorang muslim kepada para salaf dari kalangan sahabat dan yang mengikuti mereka, sehingga menambah kemuliaan, iman dan kehormatannya. Hal ini karena para salaf tersebut adalah para wali Alloh dan imam-imam yang bertakwa. Hal ini seperti disampaikan oleh Ibnu Mas’ud:
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوب الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Sesungguhnya Alloh telah melihat hati para hamba-Nya, dan mendapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya hati mereka, lalu memilihnya dan mengutusnya membawa risalah. Kemudian melihat kepada hati para hamba setelah hati Muhammad dan mendapatkan hati para sahabat sebaik-baiknya hati para hamba, lalu menjadikan mereka sebagai pendamping nabi-Nya. Mereka berperang membela agama-Nya, sehingga apa yang dipandang kaum muslimin sebagai kebaikan maka ia baik di sisi Alloh dan apa yang dipandang mereka sebagai kejelekan maka ia adalah kejelekan di sisi Alloh.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/379 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syaakir no. 3600. Syaikh Abu Usamah Saliim bin ‘ied Al Hilaliy: “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya 3/179, Ath Thoyaalisiy dalam musnadnya hal 23 dan Al Khothib Al baghdadiy dalam Al Faqiih wal Mutafaqqih 1/166 secara mauquf dengan sanad hasan.” (diambil dari kitab Limadza Ikhtartu Al manhaj As Salafiy (edisi Bahasa Arab) karya Syaikh Salim bin I’ed Al Hilali, cetakan Markaz Al Albani hal 88)
Keenam
Aqidah salaf memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya, yaitu kejelasannya. Aqidah salaf menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai sumber gambaran dan pemahamannya, jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih. Demikian juga aqidah ini dapat menyelamatkan orang yang berpegang teguh (komitmen) kepadanya dari kerancuan pembicaraan tentang zat Alloh, menentang nash Al Quran dan sunnah nabi-Nya. Dari sana aqidah salaf memberikan pemiliknya sikap ridho dan tenang menerima takdir Alloh dan mengagungkan keagungan Alloh serta tidak membebani akal untuk berpikir tentang sesuatu di luar kemampuannya, seperti masalah-masalah ghaib. Maka aqidah salaf sangat mudah sekali dan jauh dari kerancuan dan ketidakmampuan memahaminya. (Dari kata pengantar Syaikh ‘Alwi Abdil Qadiir As Saqaf pada kitab Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Muhammad Kholil Al Haras, Tahqiq ‘Alwi Abdil Qadiir As Saqaf, cetakan ketiga, tahun 1415H, Dar Al Hijroh, Riyaadh. hal 6-7 dengan pengurangan).
Keistimewaan dan Karakteristik Aqidah Salaf
Di antara kekhususan dan keistimewaan aqidah salaf, adalah:
Pertama, aqidah salaf bersumber kepada sumber yang asli dan suci yaitu Al Quran dan sunnah dan jauh dari hawa nafsu dan syubhat.
Kedua, aqidah salaf memberikan ketenangan dan kemantapan jiwa dan menjauhkan pemiliknya dari keraguan dan kerancuan.
Ketiga, aqidah salaf menjadikan sikap seorang muslim selalu mengagungkan nash-nash Al Qur’an dan sunnah, karena ia mengetahui kebenaran dan hak hanya ada padanya. Inilah keselamatan dan keistimewaan yang penting.
Keempat, aqidah salaf dapat mewujudkan sifat yang Alloh ridhoi dalam firman-Nya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65)
Kelima, aqidah salaf mengikat seseorang dengan para salaf sholeh.
Keenam, aqidah salaf menyatukan barisan kaum muslimin dan persatuannya, karena ini merupakan perwujudan firman Alloh:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Alloh orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)
Ketujuh, aqidah salaf menjadikan orang yang berpegang teguh (komitmen) dengannya selamat dan masuk dalam janji Rosululloh mendapatkan pertolongan dan kemenangan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Kedelapan, Berpegang teguh kepadanya merupakan sebab terpenting keistiqomahan agama seseorang.
Kesembilan, aqidah salaf memiliki pengaruh besar dalam perbaikan suluk dan akhlak orang yang berpegang teguh (komitmen) dengannya.
Kesepuluh, berpegang teguh dan mengamalkan aqidah salaf termasuk sebab terpenting yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh dan memperoleh keridhoannya. (Keistimewaan ini teringkas dalam Mudzakirot “Manhaj As Salaf” hasil ceramah Syaikh Abdullah Al Ubailaan. Hal 5-6).
Kesebelas, aqidah salaf adalah aqidah yang konsisten tidak berubah dengan tempat dan zaman.Keduabelas, Aqidah salaf adalah aqidah yang jelas dan mudah, karena diambil dari sumber yang suci jauh dari noda syubhat dan hawa nafsu dan bersih dari ta’wil-ta’wil.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis dan penyusun syarah ini. Saran kritik anda kami tunggu
Arti Penting Kitab Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah Dalam Mempelajari Aqidah Salaf
Kitab ini telah mendapatkan pujian dan penerimaan dari para ulama dan penuntut ilmu baik terdahulu maupun sekarang. Kitab yang dikarang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini sudah tidak asing lagi bagi mereka, karena kedudukan dan arti pentingnya dalam menjelaskan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah.Di antara arti pentingnya adalah:
Pertama, kitab ini telah diakui sangat bermanfaat dalam menjelaskan aqidah salaf walaupun dengan lafadz yang ringkas dan ibarat yang mudah.
Kedua, kandungan Aqidah Wasithiyyah ini seluruhnya bersandarkan kepada Al Quran, Sunnah dan Ijma’ Salaf umat ini dan para imamnya. Ini ada pada lafadz dan maknanya. Hal ini dijelaskan beliau dalam pernyataannya dalam dialog yang terjadi dalam aqidah ini: “Saya dalam aqidah ini sangat memperhatikan petunjuk Al Quran dan Sunnah.” (Majmu’ Fatawa 3/165). Dan beliau pun menyatakan, “Semua lafadz yang saya sebutkan (dalam aqidah ini), mesti saya sebutkan juga dengannya ayat atau hadits atau Ijma’ Salaf.” (Majmu’ Fatawa 3/189).
Ketiga, isi kandungan kitab ini adalah hasil riset penelitian Syaikhul Islam terhadap perkataan dan pendapat para salaf dalam pembahasan nama dan sifat Alloh, hari akhir, iman, takdir, sahabat dan lain-lainnya dari permasalahan Ushul dan I’tikad. Ini tampak dalam pernyataan beliau, “Tidaklah saya masukkan dalam kitab ini kecuali aqidah seluruh salaf sholeh.” (ibid 3/169).
Keempat, pengarang kitab ini (Syaikhul Islam) telah mengerahkan kemampuan dan kesempatannya untuk menjelaskan sejelas-jelasnya jalan Firqatun Najiyah dalam aqidah, sehingga beliau berkata, “Saya telah teliti secara perlahan seluruh orang yang menyelisihi saya pada satu hal dari aqidah ini selama tiga tahun. Jika ada satu huruf dari seorang yang termasuk tiga generasi mulia yang menyelisihi apa yang telah saya sampaikan, maka saya akan rujuk dari hal itu.” (Majmu’ Fatawa).
Kelima, kitab aqidah ini walaupun sangat ringkas tapi telah mencakup hampir semua permasalahan I’tikad dan Ushul Iman. (hal ini diambil dari Syarah Al Aqidah Al Wasithiyyah yang disusun Syaikh Kholid bin Abdillah Al Mushlih, cetakan pertama tahun 1421 H, Dar Ibnu Al Jauzie, Al Dammaam, hal 5-6).
Demikian, kitab ini telah meraih penerimaan para ulama, sehingga Al Imam Adz Dzahabi menyatakan, “Telah disepakati kitab ini merupakan I’tikad Salafy yang bagus.” (Al ‘Uqud Ad Duriyah hal 212). Juga Ibnu Rajab menyatakan, “Telah disepakati, inilah I’tikad Sunni Salafi.” (Adz Dzail ‘ala Thobaqatul Hanabilah 2/396).
Demikian juga Syaikh Abdurrahman Assa’diy menyatakan, “Kitab ini dengan ringkas dan jelasnya telah mencakup seluruh I’tikad yang wajib diyakini dalam ushul iman dan aqidah yang shohihah.” (At Tanbihat Al Lathifah hal 6).
Syaikh Zaid bin Abdilaziz bin Fayyaadh menyatakan, “Sesungguhnya kitab Al Aqidah Al Wasitiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah walaupun kecil dan ringkas namun sangat bermanfaat dan besar faedahnya. Beliau dalam kitab ini telah menjelaskan mazhab salaf dalam aqidah yang selamat dari noda-noda kebidahan dan pemikiran ahli kalam yang sesat.” (Ar Roudhatun Nadiyah Syarah Al Aqidah Al Wasithiyyah karya Zaid bin Abdul Aziz Al Fayaadh, cetakan ketiga tahun 1414 H. Dar Al Wathon, Riyaadh. hal 3).
Oleh karena itulah para ulama dan penuntut ilmu memberikan perhatian serius terhadap kitab ini baik dalam pengajaran atau karya tulis mereka. Mereka menulis Syarah dan Ta’liq (komentar penjelas) terhadap kitab ini. Di antara hasil karya mereka yang berkenaan dengan kitab Al Aqidah Al Wasithiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, At Tanbihaatul Lathifah Fimaa Ihtawat ‘Alaihi Al Wasithiyah Minal Mabaahits Al Munifah karya Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’diy. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Syarah Aqidah Al Wasithiyah oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz diterbitkan oleh Darul Haq, Jakarta.
Kedua, Al Aqidah Al Wasithiyah yang dita’liq oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz bin Maani’, ini merupakan komentar singkat beliau, diterbitkan di percetakan Saad Ar Rasyiid di Riyadh.
Ketiga, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Muhammad Kholil Haraas, kitab ini di tahqiq oleh Alwiy bin Abdil Qadir As Saqqaaf, diterbitkan oleh penerbit Darul Hijroh, Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia. Sebelum beliau, kitab ini telah diteliti oleh Syaikh Abdurrazaaq ‘Afifiy dan dicetak oleh Al Jami’ah Al Islamiyah (Universitas Islam Madinah) dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar Syaikh Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al Amaah Liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H. Syarah ini memiliki keistimewaan dalam Syarah yang tidak terlalu panjang, namun hampir semua ibarat Syaikhul Islam telah tersyarah kata perkata.
Keempat, At Tambihatus Sunniyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Abdul Aziz bin Naashir Ar Rosiid. Ini adalah syarah yang cukup panjang lebar dalam 388 halaman dan diterbitkan Dar Ar Rasyid.
Kelima, Al Kawaasyif Al Jaliyah ‘An Ma’aaniy Al Wasithiyah karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman. Dicetak beberapa kali dan dibagikan cuma-cuma. Akhir cetakan adalah cetakan ke-17 tahun 1410 dalam 807 halaman.
Keenam, Al Asilah wal Ajwibah Al Ushuliyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Abdul Aziz Ali Salman. Berisi 340 halaman dan dibagikan cuma-cuma.
Ketujuh, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Sholih bin Fauzaan Ali Fauzan. Beliau salah seorang anggota Majelis Ulama Besar Saudi Arabia. Ini adalah syarah ringkas dan mudah dalam 222 halaman. Beliau banyak bersandar dalam syarah ini kepada kitab At Tambihatus Sunniyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Abdul Aziz bin Naashir Ar Rosiid dan Ar Roudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh.
Kedelapan, At Ta’liqatul Mufidah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Abdullah bin Abdurrohman bin Ali Asy Syariif.
Kesembilan, Al Aqidah Al Wasithiyah Wa Majlis Al Munadzaroh Fiha Baina Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah wa ‘Ulama Ashrihi ditahqiq oleh Zuhair Asy Syaawiisy.
Kesepuluh, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahb Al Qohthoniy.
Kesebelas, Ar Roudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh. Kitab yang menjelaskan Aqidah Al Wasithiyah dengan panjang lebar sepanjang 516 halaman.
Keduabelas, Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ini adalah syarah yang sangat bagus dan indah, sepantasnya dimiliki oleh setiap tholibul ilmu. Dicetak dalam 2 jilid sebanyak 414 halaman di Dar Ibnil Jauziy.
Ketigabelas, Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah min Kalami Syaikhil Islam karya Syaikh Kholid bin Abdillah Al Mushlih. Dalam syarah ini beliau mengambil penukilan pernyataan Syaikhul islam dalam karya-karya tulisnya ditambah sedikit dari pernyataan Ibnul Qayim dalam melengkapi syarahnya. Dicetak dalam 216 halaman di Dar Ibnil Jauziy tahun 1421 H
Sebab Penamaan Al Aqidah Al Wasithiyyah
Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditulis beliau dengan satu sebab yaitu permintaan Syaikh Radhiuddin Al Waasithiy. Beliau diminta menulis satu tulisan mengenai aqidah salaf Ahlusunnah wal Jamaah karena banyaknya penyimpangan dan kebodohan kaum muslimin terhadap aqidah yang benar. Hal ini beliau jelaskan dalam pernyataannya:
“Seorang qadhi dari wilayah Waasith (Waasith adalah satu wilayah yang dibangun Al Hajjaaj bin Yusuf Ats Tsaqafiy seorang panglima kholifah Abdul Malik bin Marwan. Wilayah ini terletak di bagian selatan negeri Irak di antara kota Kufah dan Bashroh. Wilayah ini menjadi tengah-tengah di antara dua kota ini. Karena inilah dinamakan Waasith. Lihat kitab Tarikh Waasith karya Bahsyal hal 22) bernama Radhiuddin Al Waasithiy yang bermadzhab Syafi’iy datang kepada kami sambil pergi haji. Beliau seorang yang sholeh dan berilmu. Kedatangan beliau kepada kami mengadukan keadaan manusia di negeri tersebut dan di negeri tatar (di bawah kekuasaan bangsa Tatar (Mongol)). Mereka dalam keadaan sangat bodoh dan zalim sampai-sampai mereka kehilangan agama dan ilmu. Beliau meminta saya menulis aqidah yang dapat dijadikan sandaran (pedoman) dia dan keluarganya. Lalu saya merasa sungkan memenuhinya. Maka saya katakan padanya: ‘Sudah banyak para ulama telah menulis kitab aqidah yang beragam, ambillah darinya aqidah para imam sunnah.’ Namun beliau terus meminta kepada saya dan berkata: ‘Saya hanya menginginkan aqidah yang engkau tulis.’ Kemudian saya menuliskan untuknya aqidah ini dalam keadaan duduk setelah ashar. Akhirnya tulisan aqidah ini banyak tersebar di kota Mesir, Iraq dan lainnya.” (Majmu’ Fatawa 3/164).
Karena itulah aqidah ini dinamakan Al Aqidah Al Wasithiyah. Demikian juga aqidah ini merupakan aqidah yang tengah-tengah yang adil sebagaimana Ahlusunnah tengah-tengah di antara kelompok islam yang ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:
“Bahkan mereka –yaitu Ahlusunnah wal Jama’ah- wasath (tengah-tengah) di antara kelompok (firqoh) umat islam, sebagaimana umat islam adalah umat tengah-tengah di antara umat yang ada. Mereka (Ahlusunnah) bersikap adil (tengah-tengah) dalam pembahasan sifat Alloh di antara ahlu ta’thil Jahmiyah dan ahlu Tasybih Al Musyabihah. Demikian juga bersikap adil (tengah-tengah) dalam masalah perbuatan Alloh di antara Al Jabariyah dan Al Qadariyah…” (Syarah Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Kholid Al Mushlih op.cit hal 94-96).
Catatan:Keterangan tentang ta’thil dan tasbih akan datang kemudian.Jahmiyah adalah sekte (firqoh) yang berkembang pada akhir daulah bani Umayah dan muncul pertama kali di daerah Turmudz. Mereka adalah pengikut Jahm bin Sofwan At Turmudzi yang dibunuh Salam bin Ahwaz Al Maaziniy di Marw. Sekte ini memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah dalam meniadakan sifat-sifat Alloh, menolak aqidah ahlu Surga melihat Alloh di Syurga (Ru’yatullah) dan meyakini Al Quran adalah makhluk. Namun ini lebih parah dari Mu’tazilah karena memiliki ajaran lain yang berbahaya, di antaranya:
1. Tidak boleh mensifatkan Allah dengan sifat yang dipakai mensifati makhluknya, karena hal itu menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) Allah kepada makhluknya.
2. Manusia itu majbur (terjajah) dalam amal perbuatannya, ia tidak memiliki kemampuan dan kehendak sedikitpun.
3. Neraka dan Syurga tidak kekal.
4. Iman hanyalah mengenal Allah dan tidak bertingkat-tingkat.
Lihat kitab Al Milal Wan Nihal karya Asy Syahrastaniy 1/86-88 dan kitab Maqalaat Islamiyin karya Abul Hasan Al Asy’ariy 1/15 dan catatan kaki pentahqiq kitab Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hal 162 serta catatan kaki pentahqiq Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Muhammad Kholil Haraas op.cit hal 185.
Al Musyabihah atau Mujassimah adalah lawannya Jahmiyah dalam penetapan nama dan sifat Allah. Mereka menyatakan: “Allah memiliki tangan seperti tangan makhluk-Nya, memiliki pendengaran seperti pendengaran makhluk-Nya dan memiliki penglihatan seperti penglihatan makhluknya.” Mereka inilah kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Lihat catatan kaki pentahqiq Syarh Al Aqidah Al Wasitiyah karya Haraas op.cit hal 185. Sehingga benar-benar wasithiyah yang wasath (yang adil tengah-tengah). Mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis dan penyusun syarah ini. Saran kritik anda kami tunggu.
Sumber: Kumpulan Makalah Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. (jazaahulloh ahsanal jaza’)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
Terjemah:
“Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Penjelasan:
Kitab ini dibuka dengan basmalah sebagaimana kebanyakan kitab-kitab yang ada. Ini merupakan amalan para ulama baik terdahulu maupun yang sekarang untuk mencontoh Kitabullah dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Para ulama berselisih tentang basmalah, apakah ia ayat dari setiap surat kecuali surat At Taubah, ataukah ayat tersendiri yang diturunkan untuk memisahkan antara surat? Syaikh Muhammad Kholil Haraas menguatkan pendapat kedua, yaitu basmalah adalah ayat tersendiri yang diturunkan untuk memisahkan antar surat (Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya beliau op.cit hal 45). Ini adalah pendapat imam Malik, Al Auzaa’i, Ibnu Jarir Ath Thobari dan Daud Azh Zhohiri. Sedangkan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menguatkan basmalah termasuk ayat dalam surat selain surat At Taubah dan ini pendapat imam Syafi’i dan mazhab Syafi’iyah (Lihat komentar beliau dalam Al Jaami’ Ash Shohih karya At Tirmidzi 2/16-25).
Demikian pula mereka berselisih apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al Fatihah? Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin menguatkan pendapat bahwa Basmalah tidak termasuk Al Fatihah dengan dasar sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
“Alloh berfirman: “Aku membagi sholat antara Aku dan hamba-Ku separuh-separuh. Jika hamba-Ku berkata: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin’ maka Alloh berkata: “Hamba-Ku telah memuji-Ku (dengan cinta dan pengagungan).” Jika hamba-Ku menyatakan: ‘Arrahmanirrahim’ maka Alloh menjawab: “Hambaku telah memuji-Ku (karena rahmat-Ku yang luas).” Jika hamba-Ku menyatakan: ‘Malikiyaumiddin’ maka Alloh menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.” Jika hamba menyatakan: ‘Iyakana’budu wa iyaka nasta’in’ maka Alloh menjawab: “ini tengah-tengah antara Aku dengan hamba-Ku dan hamba-Ku memperoleh apa yang dimintanya.” Jika hamba menyatakan: ‘Ihdinash Shiratol mustaqim shirotal ladzina An’amta ‘alaihim ghoiril maghdhubi ‘alaihim waladh dhaaliin’ maka Alloh menjawab: “Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang inginkan.” (Diriwayatkan imam Muslim dalam Shohih-nya, kitab Ash Sholah, Bab Wujub Qiraatil Fatihah fi Kulli Rak’atin hadits no. 878).
Sehingga tiga ayat untuk Alloh dan tiga ayat untuk hambanya serta satu ayat antara Alloh dengan hamba-Nya. Setelah membawakan dalil-dalil ini Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Yang benar lagi tidak diragukan lagi bahwa basmalah bukan termasuk Al Fatihah.” (Tafsir Al Fatihah karya beliau, diambil dari Internet). Wallohu A’lam.
Huruf Ba’ (ب) dalam basmalah untuk isti’anah (memohon pertolongan). Dan kata (بِسْمِ الله) berhubungan dengan fi’il (kata kerja) yang dihapus baik dikedepankan atau diakhirkan. Keduanya disebutkan Al Quran dalam firman-Nya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
dan firman-Nya:
بِسْمِ اللهِ مَجْرَاهَاوَمُرْسَاهَا
Namun yang kedua yaitu diakhirkan lebih baik, karena memiliki dua faedah:
Pertama, ber-tabaruk (meminta barokah) dengan mendahulukan nama Alloh.
Kedua, mengandung makna Al hashr, karena mendahulukan yang seharusnya diakhirkan. Al Hashr adalah Pemberian hukum kepada yang disebut dan meniadakan selainnya. Jadi seakan akan kita menyatakan misalnya ketika menulis: “Saya tidak menulis dengan mencari barokah dan pertolongan dengan nama seorang pun kecuali nama Alloh.”
(الله) adalah nama Alloh yang khusus untuknya. Nama ini merupakan pokok seluruh nama Alloh sehingga nama-nama lain disebutkan setelahnya, seperti firman Alloh:
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Alloh tidak ada Illah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Alloh tanpa izin-Nya Alloh mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Alloh melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Alloh meliputi langit dan bumi. Dan Alloh tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqaroh: 255)
(الرَّحْمَان) bermakna yang Maha Luas rahmat-Nya. Sedangkan (الرَحِيْم) bermakna yang memberikan rahmat-Nya kepada hamba yang disukai-Nya, yaitu para wali-Nya dari kalangan orang-orang beriman, sebagaimana firman-Nya:
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلاَئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 43)
Dari kedua nama Alloh ini Ahlusunnah menetapkan sifat rahmat bagi Alloh ta’ala. Sekaligus membantah Ahlu Ta’thil yang menolaknya. Kedua nama ini menunjukkan Zat Alloh dan juga menunjukkan sifat rahmat bagi Alloh, sebagaimana telah ada dalam kaidah nama dan sifat Alloh yang telah disepakati Ahlusunnah wal Jamaah. Karena nama-nama Alloh, merupakan nama bila ditinjau dari penunjukannya kepada zat dan menjadi sifat bila ditinjau dari kandungan maknanya. (Lihat penjelasan kaidah ini dalam kaidah kedua dari kaidah memahami nama Alloh dalam kitab Al Qawaa’id Al Mutsla Fi Shifaatillahi Wa Asmaihil Husna karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Tahqiq Asyraf).
Apalagi kedua nama ini menunjukkan sifat yang membutuhkan obyek penderita (transitif) maka wajib ditetapkan darinya zat, sifat dan hukum sifat tersebut. (Lihat kaidah ketiga dari kaidah nama Alloh dalam Al Qowaid Al Mutsa op.cit hal. 28 dan Taisir Karimirrahman karya Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla Al Luwaihiq, cetakan pertama tahun 1421 H, Muassasat Al Risalah, Beirut hal. 39).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَه بِالْهُدَى وَ دِيْنِ الْحَقِّ
Terjemah:
“Segala puji hanya untuk Alloh yang telah mengutus Rosul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar.”
Penjelasan:
Penulis yaitu Syaikhul Islam memulai kitabnya dengan hamdalah setelah mengucapkan basmalah. Karena ia merupakan kunci pembuka semua perkara yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh, sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam sendiri dalam pernyataan beliau, “Al Hamdu adalah kunci pembuka seluruh perkara penting berupa munajat Rabb dan berbicara kepada hamba-Nya.” (Majmu’ Fatawa 22/398).
(الْحَمْدُ لِلهِ ), Al Hamdu adalah menyebutkan sifat-sifat sempurna bagi zat yang terpuji dengan kecintaan kepada-Nya. (Lihat Majmu’ Fatawa 8/378, Jami’ Ar Rosa’il wal Masaail 2/57 dan Minhajus Sunnah 5/404). Ibnul Qayyim menyatakan, “Al Hamdu adalah menyebutkan kesempurnaan yang terpuji disertai kecintaan, pengagungan dan penghormatan.” (Badai’ Al Fawaaid karya Ibnul Qayyim 2/93).
Ibnu Qoyyim Juga menyatakan, “Memberikan pujian sempurna kepada Alloh menunjukkan adanya penetapan semua yang membuat-Nya terpuji, berupa sifat yang sempurna dan agung, karena zat yang tidak memiliki sifat sempurna tentu tidak akan sama sekali dipuji. Mungkin dapat dipuji dari salah satu sisi saja, tidak bisa dipuji dari segala segi dan semua jenis pujian kecuali zat yang memiliki seluruh sifat sempurna. Seandainya hil
ang satu sifat sempurna saja maka berkuranglah pujian sesuai dengan hilangnya sifat tersebut.” (Madarijus Saalikin karya Ibnul Qayyim 1/64).
Jelaslah di sini kata Al hamd yang disebutkan dengan tambahan huruf alif dan lam menunjukkan keumuman (Istighraq) sehingga maknanya seluruh pujian atau pujian yang menyeluruh. Syaikhul Islam sendiri menyatakan, “Kata Al Hamd disebutkan dengan tambahan huruf alif dan lam menunjukkan pengertian menyeluruh pada semua pujian. Hal ini menunjukkan pujian semata-mata milik Alloh Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa 1/89).
(لِلَّهِ) Huruf lam di sini bermakna ikhtishosh (kekhususan) dan istihqaaq (kepantasan). Alloh subhanahu wa ta’ala bila memuji dirinya dalam Al Quran, selalu menyebut nama-Nya yang maha indah, sifat-Nya yang Maha Sempurna dan perbuatan-Nya yang Maha Terpuji. Oleh karena itu penulis kitab (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) setelah memuji Alloh menyebut salah satu perbuatan Alloh, yaitu pengutusan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan agama yang benar.
Sedangkan rasul secara etimologi Bahasa Arab bermakna orang yang diutus membawa risalah. Rasul dalam terminologi syariat bermakna seorang manusia, laki-laki dan merdeka diberi wahyu syariat dan diperintahkan menyampaikannya (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Haraas op.cit hal 52 dan Ar Roudhatun Nadiyah Syarhul Aqidah Al Wasithiyah karya Zaid bin Abdulaziz bin Fayyaad op.cit hal 6). Memang inilah definisi rasul yang masyhur dan terkenal, namun ini tampaknya kurang, karena Alloh telah menjelaskan bahwa Dia juga mengutus para Nabi, sebagaimana firman-Nya:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلاَنَبِيٍّ إِلآ إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَتِهِ فَيَنسَخُ اللهُ مَايُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللهُ ءَايَاتِهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rosul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Alloh menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaitan itu, dan Alloh menguatkan ayat-ayatNya. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hajj: 52)
Tidak mungkin Alloh memberikan wahyu kepada seorang lalu tidak memerintahkannya untuk menyampaikan. Padahal Rosululloh menyatakan dalam haditsnya:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمْ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Dipaparkan padaku para umat. Lalu Nabi dan dua Nabi mulai lewat bersama sekelompok orang dan ada Nabi yang tidak seorang pun bersamanya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori hadits dalam Shohih-nya kitab Ath Thibb, Bab Man Iktawa wa Kawaa wa Fadhlu Muktawin no. 5270)
Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar menguatkan pendapat yang menyatakan perbedaan antara Nabi dan rasul adalah Rasul adalah orang yang mendapat wahyu dengan syariat baru sedangkan nabi diutus untuk meneguhkan dan melanjutkan syariat sebelumnya. Kebanyakan para nabi bani Israil untuk itu (lihat Ar Rosul War Risaalah karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan ketiga tahun 1405 H, Maktabah Al Falaah, Kuwait hal 14). Ini tampaknya lebih dekat kepada kebenaran. Wallohu a’lam.
Adapun Al Huda (الْهُدَى) secara etimologi bahasa Arab bermakna penjelasan dan penunjukkan, sebagaimana firman Alloh:
وَأَمَّاثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk (jelaskan kepada mereka) tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fushshilat: 17)
Makna Al Huda (فَهَدَيْنَاهُمْ) di sini adalah menjelaskan kepada mereka, juga dalam firman-Nya:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al Insaan: 3)
Hidayah (الْهُدَى) dalam makna ini bersifat umum untuk semua manusia, sehingga Al Quran dikatakan demikian dalam firman-Nya:
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا وَأَنَّ الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al Isra: 9)
Demikian juga Rosululloh, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura: 52)
Hidayah (الْهُدَى) juga dapat bermakna taufik dan ilham, sehingga hidayah ini khusus bagi orang yang Alloh kehendaki mendapatinya, sebagaimana firman-Nya:
فَمَن يُرِدِ اللهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَآءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ
“Barang siapa yang Alloh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk(memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Alloh kesesatannya, niscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Alloh menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al An’am: 125)
Syaikh Sholeh bin Abdillah bin Fauzaan Alifauzan menyatakan bahwa Hidayah ada dua jenis:Pertama, hidayah dengan makna petunjuk dan penjelasan, seperti dalam firman-Nya:
وَأَمَّاثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk (jelaskan kepada mereka) tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu.” (QS. Fushshilat: 17)
Inilah yang dilaksanakan para rasul, seperti dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura: 52)
Kedua, hidayah bermakna taufik dan ilham. Inilah yang ditiadakan dari Rosululloh, tidak mampu memberinya kecuali Alloh, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash: 56) (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Sholeh Al Fauzaan, cetakan pertama tahun 1414H, Maktabah Dar Al Salaam, Riyaadh. hal. 6-7).
Sedangkan yang dimaksud dengan hidayah dalam pernyataan Syaikhul Islam di sini adalah seluruh ajaran Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa berita-berita kebenaran, iman yang shohih, ilmu yang manfaat dan amal sholih. (lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Sholeh Ali Fauzaan op.cit hal. 6-7, Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Kholil Haros op.cit hal. 53 dan Raudatun Nadiyah Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Zaid bin Abdil Aziz op.cit hal. 6).
Syaikh Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh menyatakan, “Hidayah di sini adalah seluruh ajaran Rosululloh berupa syariat yang lurus, agama yang sempurna dan isi kandungan Al Quran yang menjadi sumber kehidupan hati dan petunjuk makhluk. Ibnu Katsir berkata: “Hidayah adalah seluruh ajaran Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam berupa berita-berita kebenaran, iman yang benar, ilmu yang manfaat dan amal saleh, karena Syariat meliputi dua hal yaitu ilmu dan amal. Ilmu Syar’i adalah benar, amalan syar’I diterima, beritanya benar dan perintah larangannya adil.” (Raudatun Nadiyah Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Zaid bin Abdil Aziz op.cit hal. 6).
Kata din (الدِّيْنُ) dalam etimologi bahasa Arab memberikan beberapa makna, di antaranya:
Pertama, pembalasan, seperti dalam firman Alloh:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai hari pembalasan.” (QS. Al Fatihah: 4)
Kedua, merendahkan diri dan patuh, seperti perkataan orang Arab: دَانَ لَهُ bermakna merendahkan diri dan patuh.
Yang dimaksud dengan Ad din disini adalah amal sholeh. (lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Sholeh A Fauzaan op.cit hal. 7, Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Ibnu Utsaimin, tahqiq Sa’ad bin Fawaaz Al Shomail, cetakan kedua tahun 1415 H. Dar Ibnu Al Jauzie), ini karena Ad Din adalah amal atau balasan amalan (diambil dari perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah op.cit hal. 1/40). Sedangkan Al Haq adalah lawan kebatilan. Kebenaran yang mengandung maslahat dan menolak kemudharatan dalam hukum dan beritanya. (Ibid).
Dengan demikian, makna hidayah (Al huda) adalah kesempurnaan ilmu dan agama yang benar (Dinul Haq) yaitu kesempurnaan amalan. Hal ini karena hidayah (Al Huda) mengandung makna ilmu yang manfaat dan agama yang benar mengandung pengertian amal sholeh. (Al Jawabush Shohih Liman Baddala Dinul Masih karya Ibnu Taimiyah 1/106. Dinukil dari Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 10).
(Sumber: Kumpulan Makalah Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. jazaahullohu ahsanal jaza)
Syaikhul Islam Berkata:
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ
Terjemahan:
Untuk memenangkannya atas seluruh agama.
Penjelasan:
Kata (لِيُظْهِرَهُ) berasal dari kata ظُهُوْر yang bermakna di atas dan menang, seperti firman Alloh:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللهَ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَاتَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمَّى فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan kalau sekiranya Alloh menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Alloh menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Alloh adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya.” (QS. Faathir: 45)Kata (لِيُظْهِرَهُ) dalam pernyataan ini bermakna Alloh memenangkannya atas seluruh agama. Sedangkan kata ganti (َهُ) apakah menunjukkan kepada Rasul atau agama yang benar? Tentang hal ini Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan:
Jika kata ganti ini kembali kepada Din Al Haq (دِيْنِ الْحَقِّ), maka orang yang berperang membela agama ini akan mendapatkan kemenangan, karena Alloh menyatakan لِيُظْهِرَهُ yaitu Alloh menangkan agama-Nya atas semua agama dan yang tidak memiliki agama, karena hal itu lebih pantas. Ini karena orang yang tidak memiliki agama lebih buruk dari yang beragama batil. Kalau demikian agama Islam akan menang atas seluruh agama lain yang dianggap benar oleh pemeluknya. Apalagi yang tidak ada agamanya.
Jika kata ganti tersebut kembali kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka maknanya Alloh akan memenangkan Rosul-Nya, karena membawa agama yang benar. Berdasarkan dua hal ini, maka orang yang berpegang teguh kepada agama islam tentu akan menang dan mulia. Barang siapa yang mencari kemuliaan pada selainnya maka akan mendapatkan kerendahan, karena tidak ada kemenangan, kemuliaan dan kejayaan tanpa membawa agama yang benar ini (Islam). Oleh karena itu saya mengajak kalian -Wahai saudara-saudara– untuk berpegang teguh kepada agama Alloh ini secara lahir dan batin, baik dalam ibadah, perilaku, akhlak dan dakwah sehingga agama ini tegak dan umat ini istiqomah. (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah Ibnu Utsaimin op.cit 1/40-41). Hal ini sudah menjadi kepastian yang tidak lagi disangsikan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Agama islam yang dibawa Rosululloh akan selalu menang (Bayan Talbisil Jahmiyah 2/341 dinukil dari Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 10), karena Alloh telah berjanji memenangkan agama islam ini atas seluruh agama dengan ilmu, hujjah, dan jihad, Alloh berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS. At Taubah: 33)
Ibnul Qayim menyatakan: Ayat ini menunjukkan Alloh telah menyempurnakan dan memenangkan agama ini atas seluruh agama penduduk bumi. Hal ini menjadi penguat hati kaum mukminin, kabar gembira dan penguat mereka serta membuat mereka selalu percaya penuh terhadap janji Alloh yang pasti terjadi. Sehingga tidak ada prasangka terhadap apa yang terjadi pada perjanjian hudaibiyah berupa penekanan dan sikap mengalah Rasul sebagai kemenangan musuh Alloh dan tidak juga kekalahan Rosululloh dan agama-Nya. Hal ini tidak mungkin karena Alloh telah mengutus Rosul-Nya dengan membawa agama yang benar dan berjanji akan memenangkannya atas seluruh agama yang ada (Zadul Ma’ad 2/129 dinukil dari Raudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al Wasitiyah op.cit hal. 6).
Syaikh DR. Sholeh Al Fauzaan menyatakan, “Makna (لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ) adalah dimenangkan atas seluruh agama dengan hujjah, keterangan jelas dan jihad sehingga mengalahkan semua yang menyelisihinya dari penduduk bumi, baik bangsa Arab atau non Arab, baik yang beragama atau musyrikin. Kemenangan ini telah terjadi, karena kaum muslimin telah berjihad dengan benar dijalan Alloh sampai wilayah negara islam meluas dan agama islam tersebar di seluruh dunia.” (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya beliau op.cit hal 7).
Demikianlah agama islam ini akan kekal dan dimenangkan Alloh, karena membawa kebenaran dengan hujjah dan jihadnya. Pantaslah bila Rosululloh bersabda:
لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang memenangkan kebenaran sampai hari kiamat dalam keadaan menang.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori)
Ini semua tidak lepas karena kebenaran yang dibawanya. Padahal kebenaran pasti bermanfaat bagi manusia dan setiap yang bermanfaat bagi manusia pasti akan kekal di dunia ini, seperti firman-Nya:
أَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَآءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً وَأَمَّا مَايَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ
“Alloh telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Alloh membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar Rodd: 17)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata:
وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا
Terjemahan:
Dan cukuplah Alloh sebagai saksi.
Penjelasan:
Huruf Ba’ (ب) dalam perkataan beliau (وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا) dinamakan dalam istilah ahli bahasa Arab dengan Ba’ Zaaidah (tambahan). Ba’ Zaidah ini digunakan untuk memperindah kalimat dan menunjukkan ketegasan bahwa Alloh benar-benar cukup dalam hal ini. (lihat Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Ibnu Utsaimin op.cit 1/41).
Sedangkan kata (شَهِيْدًا) memiliki dua makna yaitu Syahadah (persaksian) dan hadir menyaksikan. Jadi maknanya adalah cukuplah Alloh sebagai saksi yang mempersaksikan kebenaran Rosul-Nya atau Zat yang menyaksikan dan mengetahui kebenaran Rosul dan ajarannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hal itu karena persaksian Alloh saja sudah cukup tanpa menunggu datangnya ayat mukjizat, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ كَفَى بِاللهِ شَهِيدًا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِندَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ
Katakanlah: “Cukuplah Alloh menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab.” (QS. 13:43)
Persaksian Alloh akan kebenaran Al Quran dan Muhammad berupa firman-Nya yang Alah turunkan kepada para nabi sebelumnya, sebagaimana firmanNya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللهِ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Alloh yang ada padanya.” (QS. 2:140)
Dan perbuatannya, yaitu ayat dan mukjizat yang ada. Ayat dan mukjizat ini menunjukkan kebenaran para Rosul-Nya, karena Alloh membenarkan mereka pada semua berita yang disampaikan para rasul dan bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang yang benar.” (Al Jawaabush Shohih 5/407-408, dinukil dari Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 11).
Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan menyatakan, “Makna (وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا) adalah bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosul-Nya, mengetahui semua perbuatannya dan memenangkannya dari seluruh musuhnya. Hal ini menunjukkan benarnya kerasulan beliau. Karena seandainya Muhammad berdusta maka Alloh akan mempercepat hukumannya, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami Niscaya benar-benar Kami menghukumnya dengan tangan kanan.” (QS. Al Haaqah: 45) (Syarah Al Wasithiyah karya beliau op.cit hal. 7).
Persaksian Alloh ini berwujud dalam firman, perbuatan dan pertolongan-Nya terhadap Rosululloh berupa kemenangan, mukjizat dan bukti fakta yang beraneka ragam yang menunjukkan kebenaran ajaran Rosul-Nya.
Kesesuaian perkataan Syaikhul Islam beliau dalam pengantar (muqadimah) tulisan ini (لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ) dengan (وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا) tampak karena Nabi Muhammad menyeru manusia untuk taat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Beliau memerangi siapa saja yang enggan mengucapkan kalimat syahadah sehingga beliau menghalalkan dan mengharamkan darah dan harta seseorang dengannya. Beliau bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mengatakan dua kalimat syahadat, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Jika mereka melaksanakannya maka darah dan harta mereka terjaga kecuali dengan hak islam dan hisab mereka di tangan Alloh.” (Mutafaqqun Alaihi)
Kemudian Alloh memberikan kepada beliau kemenangan dan kejayaan, karena membawa petunjuk dan agama yang benar. Ini merupakan bukti kebenaran beliau dan agama yang dibawa, karena orang yang mengaku sebagai nabi secara dusta seperti Musailamah si nabi palsu, hanya mendapatkan kehinaan, kerendahan dan kekalahan. Sedangkan dakwahnya Rosululloh sampai sekarang dan sampai Alloh menghancurkan dunia ini tetap kekal dan ada. Ini merupakan persaksian Alloh. Demikianlah kesesuaian dari pernyataan beliau di atas setelah menyatakan pernyataannya: لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ. Wallohu a’lam.
Syaikhul Islam Berkata:
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ إِقْرَارًا بِهِ وَ تَوْحِيْدًا
Terjemah:
Dan Aku bersaksi Tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh saja yang tidak ada sekutu baginya dengan ikrar dan menauhidkan-Nya.
Penjelasan:
Persaksian (الشَّهَادَةُ) bermakna mengkhabarkan sesuatu yang telah diketahui dan diyakini kebenaran dan ketetapannya. Persaksian tidak cukup hanya dengan ungkapan lisan saja, namun harus disertai pembenaran, pengungkapan dan kesatuan hati dan lisan. Oleh karena itu Alloh mendustakan perkataan orang munafik dalam firman-Nya:
إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.” Dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun: 1). Padahal mereka menyatakannya secara lisan.
Makna pernyataan beliau (وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) adalah saya bersaksi dengan persaksian yang berlandaskan ilmu dan yakin dan juga bersaksi untuk beramal dengan penunjukkan dan konsekuensi kalimat ini, berupa mentauhidkan Alloh dalam ibadah.
Kalimat (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) dinamakan kalimat tauhid yang menjadi tujuan dan tugas dakwah para rasul seluruhnya. Ia adalah inti dakwah dan risalah ajaran mereka, sehingga Alloh menyatakan:وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiyaa: 25)
Demikian pula Rosululloh menyatakan dalam haditsnya yang masyhur:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mengatakan dua kalimat syahadat, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Jika mereka melaksanakannya maka darah dan harta mereka terjaga kecuali dengan hak islam dan hisab mereka ditangan Alloh.” (Mutafaqun Alaihi)
Demikian juga Al Quran seluruhnya berisi tauhid, karena Al Quran berisi:
1. Berita tentang Alloh baik berupa nama, sifat dan perbuatannya.
2. Perintah mengajak beribadah hanya kepada Alloh dan meninggalkan peribadatan selainnya.
3. Perintah dan larangan serta keharusan menaati Alloh.
4. Berita tentang pemuliaan ahli tauhid dan balasan mereka di dunia dan akhirat.
5. Berita tentang ahli syirik dan balasan mereka di dunia dan akhirat dari azab dan siksaan.
(lihat keterangan pensyarah Aqidah Ath Thohawiyah hal. 42-43)
Imam Ibnul Qayim menyatakan, “Umumnya surat Al Quran, bahkan seluruhnya berisi dua jenis tauhid. Bahkan kami nyatakan secara umum bahwa semua ayat Al Qur’an berisi tauhid, menjadi saksi dan menyeru kepadanya.” (Madarijus Salikin karya Ibnu Al Qayyim 3/450. dinukil dari Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 11).
Makna kalimat ini adalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh. Kata (وَحْدَهُ) merupakan penegasan untuk itsbat (penetapan) yaitu kata إِلَّا اللَّهُ sedangkan لاَ شَرِيْكَ لَهُ merupakan penegas untuk nafii (penolakan) yaitu kata لَا إِلَهَ ُ. Ada juga yang menyatakan وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ merupakan dua penegas yang menunjukkan arti penting dan perhatian serius terhadap kedudukan tauhid. (lihat Raudhatun Nadiyah Syarhu Al Aqidah Al Wasitiyah op.cit hal. 7).
Kata إِقْرَارًا بِهِ وَ تَوْحِيْدًا bermakna mengikrarkannya dengan lisan dan mengesakan Alloh dalam peribadatan yang didasari dengan tauhid rububiyah dan tauhid asma dan sifat.
Persaksian seperti ini disyariatkan dalam khuthbah atau muqadimah kitab, karena tauhid adalah pokok dasar iman dan kalimat pembeda antara ahli surga dan neraka. Juga ia menjadi harga surga yang tidak sah islam seseorang tanpa persaksian ini (Lihat pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 24/235). Sehingga Syaikhul Islam menyampaikannya sebagai pengingat terhadap pokok dan dasar fondasi agama ini. (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 11).
Penyusun: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
سُولُهُ
TerjemahSyaikhul Islam Berkata:
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَ:
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Alloh.
Penjelasan:
Syaikhul Islam mengisyaratkan keharusan mengucapkan dua kaliat syahadat dengan menggandeng syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dengan مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, sehingga tidak boleh hanya mengimani sebagian saja.Dalam persaksian ini digabung dua sifat yaitu sifat risalah (kerasulan) dan ubudiyah (kehambaan), karena keduanya adalah sifat hamba yang paling tinggi. Sedangkan Ibadah merupakan tujuan penciptaan manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Sehingga kesempurnaan makhluk berada pada perwujudannya terhadap peribadatan, semakin bertambah peribadatannya maka semakin sempurna dan semakin tinggi kedudukannya. Oleh karena itulah Rosululloh menjadi sebaik-baiknya makhluk Alloh ta’ala. Imam Ibnu Abil Izzi Al Hanafiy memberikan pernyataan dalam masalah ini:
“Ketahuilah kesempurnaan makhluk berada pada perwujudannya terhadap peribadatan kepada Alloh. Semakin bertambah peribadatannya maka semakin sempurna dan tinggi kedudukannya (derajatnya). Siapa yang berprasangka bahwa makhluk boleh keluar dari peribadatan dari satu aspek saja dan meyakini bahwa keluar darinya lebih baik, maka ia seorang yang paling bodoh dan sesat. Alloh berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ
“Dan mereka berkata: “Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak”, Maha Suci Alloh. Sebenarnya(malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan.” (QS. Al Anbiyaa: 26) dan yang lainnya dari ayat Al Qur’an.
Alloh juga menyebut Nabi-Nya dengan nama Abdu (hamba) di tempat yang paling terhormat. Alloh berfirman menceritakan kisah Isra’:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
“Maha Suci Alloh, yang telah memperjalankan hamba-Nya.” (QS. Al Isra: 1) dan firman-Nya:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوهُ
“Dan bahwasanya tatkala hamba Alloh (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat).” (QS. Jin: 19) serta firman-Nya:
فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَآأَوْحَى
“Lalu dia menyampaikan kepada hambanya (Muhammad) apa yang telah Alloh wahyukan.” (QS. An Najm: 10). Demikian juga firman-Nya:
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad).” (QS. Al Baqoroh: 23)
Dengan demikian beliau berhak menjadi orang terbaik di dunia dan akhirat. Oleh karena itu nabi Isa Al Masih pada hari kiamat ketika manusia memintanya untuk memberi syafaat setelah para Nabi berkata:
اِذْهَبُوْا إِلَى مُحَمَّدٍ عَبْدٌ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
“Pergilah kepada Muhammad, seorang hamba yang telah Alloh Ampuni dosanya yang terdahulu dan yang akan datang.” (Potongan hadits syafaat yang panjang, diriwayatkan dari hadits Anas bin Malik oleh Bukhori no. 4476, 6565, 7410 dan 7516 dan Muslim no. 193, 322)
Sehingga beliau mendapatkan martabat yang mulia ini dengan kesempurnaan peribadatannya kepada Alloh.” (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah op.cit hal. 139).
Pernyataan beliau:
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
Dalam pernyataan beliau (عَبْدُهُ) terdapat bantahan kepada orang yang melampaui batas dalam mendudukkan kedudukan dan martabat Rosululloh, seperti sikap kaum sufi. Padahal Rosululloh bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian melampai batas dalam bersikap kepadaku sebagaimana kaum Nasrani terhadap Ibnu Maryam. Karena sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah: ‘Hamba Alloh dan Rasul-Nya.’” (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 11).
Syahadat kedua ini (أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ) berisi pengakuan seorang hamba terhadap kesempurnaan peribadatan Rosululloh kepada Rabbnya dan kesempurnaan ajarannya serta pengakuan bahwa beliau mengalahkan seluruh manusia dalam sifat-sifat kesempurnaan. Hal ini tidak sempurna sampai seorang hamba membenarkan semua yang beliau beritakan, menaati semua perintahnya dan meninggalkan seluruh larangannya serta tidak beribadah kepada Alloh kecuali dengan syariatnya. (dikutip dari penjelasan Syaikh Muhammad Kholil Harras dalam Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah op.cit hal. 58).
Sedangkan pernyataan beliau: وَرَسُولُهُ, Para ulama berselisih dalam mendefinisikan Rasul dan nabi (lihat lebih lengkap tulisan Ibnu Ahmad Al Lambunji berjudul Iman Kepada Rasul Allah, dalam Majalah Assunnah edisi 12/tahun VI/1423H/2003M hal. 42-43), namun yang lebih kuat dalam perbedaan antara Nabi dan Rasul dari pendapat mereka adalah Rasul seorang yang mendapatkan wahyu dengan membawa syariat baru, sedangkan Nabi adalah seorang yang diberi wahyu untuk menetapkan syariat sebelumnya. (Tim Kurikulum Aqidah, Muqarror Al Tauhid li Shof Al Tsaani Al ‘Ali Fi Al Ma’ahid Al Islamiyah, tanpa tahun dan penerbit, hal. 57).
Kata وَرَسُولُهُ dalam pernyataan Ibnu Taimiyah ini adalah sifat yang tidak diberikan kepada seorang pun setelah beliau, karena beliau adalah penutup sekalian nabi. (Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah Ibnu Utsaimin op.cit 1/45).
Syaikhul Islam Berkata:
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصَْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا مَزِيْدًا
Terjemah:
Semoga Alloh melimpahkan sholawat kepada beliau, keluarganya dan para sahabatnya dan melimpahkan salam yang lebih.
Penjelasan:
Sholawat dalam bahasa berarti doa, sedangkan Bersholawat untuk nabi bermakna memohon kepada Alloh untuk memuji Rasul-Nya, meninggikan keutamaan dan kemuliaannya serta memuliakan dan menjadikannya dekat kepada Alloh (Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Al Mushlih op.cit hal. 11-12 menukil dari kitab Jala’ Al Afhaam karya ibnu Al Qayyim). Sedangkan makna sholawat Alloh untuk hamba-hambaNya terbagi dua:
Pertama, umum kepada hamba-Nya yang beriman, maka bermakna rahmat seperti firman Alloh:
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلاَئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 43), dan doa Rosululloh kepada salah seorang kaum mukminin:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِيْ أَوْفَى
“Ya Alloh berikanlah sholawat (rahmat) kepada keluarga Abu Aufa.” (Diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim no. 1078)
Kedua, khusus kepada nabi-Nya, maka bermakna memujinya di langit di hadapan para malaikat-Nya (Lihat Al Muntaqaa Min Jalaa’il Afhaam Fi Fadhli Ash Sholat Was Salaam ‘Ala Muhammadin Khoiril Anaam, karya Muhammad bin Ahmad Sayid Ahmad tanpa cetakan dan tahun, Darul Wasilah, Jeddah, KSA hal 87-89), sebagaimana Tafsir Ibnu ‘Aaliyah yang diriwayatkan imam Bukhori dalam Shohih-nya dalam bab: إِنَّ
اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ.
Adapun sholawat malaikat untuk hamba Alloh adalah permohonan ampunan dari mereka kepada Alloh, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي صَلَّى فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ تَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ
Sesungguhnya Rosululloh bersabda, “Para malaikat bersholawat untuk salah seorang kalian selama ia berada di tempat sholat yang dipakainya sholat selama belum berhadats. Para Malaikat berkata: “Ya Alloh ampunilah ia, Ya Alloh rahmatilah ia.” (Muttafaqun ‘Alaihi). (lihat Syarhu Al Aqidah Al Wasitiyah al Haros op.cit 58-59).
Disyariatkan bersholawat kepada nabi pada hal-hal sebagai berikut (Diringkas dari Al Muntaqaa Min Jalaa’il Afhaam Fi Fadhlisl Sholat Was Salaam ‘Ala Muhammadin Khoiril Anaam, karya Muhammad bin Ahmad Sayid Ahmad op.cit hal. 41-55 dan kitab Fadhlus Sholat ‘Alan Nabi karya Isma’il bin Ishaq Al Qadhi, Tahqiq Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1397, Al Maktab Al Islami):
Pertama, di akhir tasyahud. Sebagaimana disampaikan dalam hadits Abu Mas’ud Uqbah bin Amru Al Anshori, beliau berkata:
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَالسَّلَامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ
“Rosululloh menjumpai kami di dalam majlis Sa’ad bin Ubadah, Lalu Basyir bin Sa’ad berkata kepada beliau: Wahai Rosululloh, Alloh telah memerintahkan kami untuk bersholawat kepadamu, bagaimana bersholawat kepadamu? Beliau menjawab: Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Sedangkan salam telah kalian ketahui.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 5/274 dan Muslim no. 405)
Kedua, dalam sholat jenazah setelah takbir kedua. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Umamah bin Sahl, bahwa beliau telah diberitahu seorang sahabat Rosululloh:
أَنَّ السُّنَّةَ فِيْ الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُوْلَى سِرًّا فِيْ نَفْسِهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِ
“Sesungguhnya sunnah dalam sholat jenazah adalah imam bertakbir lalu membaca surat Al fatihah setelah takbir pertama secara siri dalam dirinya kemudian bersholawat kepada Nabi.” (diriwayatkan imam Syafi’i dalam Al Umm 1/239 dan 240 dan Al Haakim dalam Al Mustadrok 1/360 dan beliau berkata: “Ini hadits shohih sesuai syarat Syaikhon (Bukhori dan Muslim) dan keduanya tidak mengeluarkannya.” Hal ini disepakati Al Dzahabi)
Ketiga, dalam khutbah-khutbah, seperti khutbah jumat, Ied dan lain-lainnya.
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَالثَّانِي عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ يَجْعَلُ اللَّهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ
Dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, beliau berkata: Bapaknya dulu adalah pengawal imam Ali, dan beliau berada di bawah mimbar. Lalu bapakku menceritakan kepadaku bahwa imam Ali naik mimbar, lalu memuji Alloh dan bersholawat kepada Nabi dan berkata: “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar dan kedua adalah Umar” dan berkata: “Alloh menjadikan kebaikan di mana Ia cintai.” (HR Ahmad 1/106 berkata Ahmad Syakir: ‘Isnadnya Shohih’)
Keempat, setelah adzan, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amru:
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Beliau mendengar Rosululloh bersabda: “Jika kalian mendengar seruan Muadzin maka ucapkanlah apa yang ia ucapkan kemudian bersholawatlah kepadaku, karena siapa yang bersholawat kepadaku sekali maka Alloh akan bersholawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonlah kepada Alloh Al Wasilah untukku, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak patut kecuali untuk seorang hamba Alloh dan aku berharap akulah ia. Maka siapa yang memohonkan untukku Al Wasilah maka ia akan mendapat syafaatku.” (HR. Muslim 384)
Kelima, ketika berdoa. sebagaimana dalam hadits Fadholah bin ‘Ubaid yang berbunyi:
سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ
Rosululloh mendengar seseorang berdoa dalam sholatnya, lalu tidak bersholawat kepada Nabi. Maka Rosululloh bersabda: “orang ini tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggilnya dan bersabda kepadanya: “Jika salah seorang kalian sholat (berdoa) maka hendaknya memulai dengan tahmid dan memuji Alloh kemudian bersholawatlah kepada Nabi kemudian berdoalah setelah itu sesukanya.” (HR Abu Daud 1481 Tirmidzi 3477 beliau berkata: “Hadits ini hasan shohih”)
Keenam, ketika keluar dan masuk masjid, sebagaimana hadits Abu Usaid yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ فَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
Rosululloh bersabda: Jika salah seorang dari kalian masuk masjid maka beri salamlah kepada Nabi kemudian bacalah: ‘اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ’ . Apabila keluar (dari masjid) maka bacalah:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ (HR. Abu Daud 393, An Nasa’i 721, Ibnu Majah 763)
Dan hadits Fathimah yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ
Rosululloh jika masuk masjid bersholawat dan salam kepada Muhammad dan berkata:رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ dan jika keluar bersholawat dan salam kepada Muhammad dan berkata: رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ (diriwayatkan oleh Abu daud no. 465, At Tirmidzi no. 289 dan Ibnu Majah no. 771. At Tirmidzi berkata: “Hadits Fathimah hadits hasan dan sanadnya terputus.” Hadits ini dishohihkan dengan syahid penguatnya oleh Al Albani, lihat kitab Fadhlusl Sholat ‘Alan Nabi karya Isma’il bin Ishaq Al Qadhi, op.cit hal. 71-72).
Ketujuh, di atas Shofa dan Marwa. Sebagaimana hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يكَبِّرُ عَلَى الصَّفَا ثَلاَثًا يَقُوْلُ :لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ثُمَّ يُصَلِّيْ عَلَ النَبِي ثُمَّ يَدْعُو
Ibnu Umar dahulu bertakbir di Shofa tiga kali dan menyatakan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ kemudian bersholawat kepada Nabi lalu berdo’a. (Diriwayatkan oleh Isma’il bin Ishaq Al Qadhi dalam Fadhlu Sholaat ‘Alan Nabi op.cit hal. 74 no. 87. Al Albani berkata: “Sanadnya Muttashil Shohih”)
Kedelapan, ketika berkumpul dan sebelum berpisah. Ini dijelaskan dalam hadits Abu Hurairoh beliau berkata bahwa Rosululloh bersabda:
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ
“Tidaklah satu kaum duduk di majelis yang tidak disebut nama Alloh dan tidak ada sholawat kepada nabi mereka kecuali mereka mendapatkan kerugian, jika Alloh ingin maka akan menyiksa mereka dan apabila ingin maka ia ampuni mereka.” (Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Abu Daud. Hadits ini dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jaami’ Al Shoghir no. 5382)
Kesembilan, ketika disampaikan nama Rosululloh, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairoh, beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Rosululloh bersabda celakalah seorang yang disebutkan namaku padanya lalu tidak bersholawat kepadaku.” (Diriwayatkan Oleh At Tirmidzi no. 3539 dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jami’ 3504)
Kesepuluh, pada pagi dan sore hari, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Darda’, beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشَرًا وَ حِيْنَ يُمْسِيْ عَشْرًا أَدرَكَتْهُ شَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rosululloh bersabda barang siapa yang bersholawat kepadaku sepuluh kali pada waktu pagi dan sepuluh kali pada waktu sore maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat nanti.” (Disohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jami’ no. 6233)
Kesebelas, pada hari dan malam jumat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Aus bin Aus, beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ
Rosululloh bersabda: “Sungguh di antara hari yang terbaik adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan dan pada hari itu juga terjadi peniupan sangkakala pertama dan kedua, maka perbanyaklah bersholawat kepadaku, karena sholawat kalian dipaparkan kepadaku.” Mereka bertanya: “Wahai Rosululloh bagaimana dipaparkan kepadamu padahal engkau telah menjadi debu.” Maka Rosululloh menjawab: “Sesungguhnya Alloh mengharamkan tanah memakan jasad para nabi.” (Diriwayatkan Abu Daud no. 1047)
Keduabelas, bersholawat di semua tempat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairoh, beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
Rosululloh bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian kuburan dan jangan jadikan kuburanku “ied dan bersholawat kepadaku, karena sholawat kalian dipaparkan sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042)
Demikianlah di antara tempat dan waktu yang disyariatkan bersholawat padanya.
Pernyataan Ibnu Taimiyah: آلِهِ وَ أَصَْحَابِهِ
Para ulama berselisih tentang asal kata “Al Aal”, ada yang menyatakan asalnya dari kata Ahlu (أَهْل) kemudian huruf ha’ berubah menjadi huruf hamzah (أَأْل) lalu dimudahkan menjadi (آل). Kata ini pada umumnya tidak dipakai kecuali pada hal-hal terhormat (lihat Syarhu Al Aqidah Al Wasitiyah Al Haraas op.cit hal. 59 dan pendapat ini dilemahkan Ibnul Qayyim sebagaimana dinukil dalam Al Muntaqa Min Jalail Afhaam op.cit hal. 107). Sebagian ulama menyatakan asal katanya dari kata Aul (أَوْل) yaitu dari (آل - يَؤُوْلُ) bermakna kembali. Sehingga makna pernyataan: ( آل الرَجُلِ) adalah keluarga dan kerabatnya dan juga pengikutnya.
Dengan demikian maka makna pernyataan Ibnu Taimiyah: آله ini bermakna kerabat beliau atau pengikut beliau.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Pernyataan Ibnu Taimiyah: آله ini bermakna pengikut beliau dalam agama. Ini bila kata الآل berdiri sendiri tanpa diikuti kata الصَحِب. Sehingga maknanya adalah seluruh pemeluk agamanya sejak beliau diutus sampai hari kiamat nanti. Kata الآل bermakna pemeluk agama ini ditunjukkan oleh firman Alloh Ta’ala:
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya k edalam azab yang sangat keras.” (QS. Al Mu’min: 46), bermakna pemeluk agamanya.
Sedangkan apabila digabung dengan kata الأتباع maka الآل bermakna kaum mukminin dari ahli bait Rosululloh. Ibnu Taimiyah di sini tidak menyebut kata الأتباع, hanya menyatakan: آلِهِ وَ أَصَْحَابِهِ sehingga makna آلِهِ adalah pemeluk agamanya dan أَصَْحَابِهِ adalah semua orang yang berkumpul dengan Nabi dalam keadaan mukmin dan mati dalam keadaan demikian juga’. (Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah Ibnu Utsaimin op.cit hal. 1/47).
Pernyataan Ibnu Taimiyah: وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا مَزِيْدًا . Kata salaam dalam bahasa Arab adalah masdar dari سَلَّمَ تَسْلِيْمًا bermakna memohon keselamatan dari seluruh yang tidak disukai. Ia juga termasuk salah satu nama Alloh ta’ala. Maknanya adalah berlepas diri dan bersuci dari segala kekurangan dan aib atau zat yang memberikan keselamatan kepada kaum mukminin di akhirat (Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah Al haraas op.cit hal 61). Dalam pernyataan ini beliau menggabung antara permohonan kepada Alloh untuk mewujudkan seluruh kebaikan kepada nabi-Nya –terkhusus lagi pujian terhadapnya di langit- dengan permohonan dihilangkan dari beliau segala pengganggu dan demikian juga untuk para pengikut beliau (Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah Ibnu Utsaimin op.cit 1/47-48).
-bersambung insya Allah-