Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, Maret 27, 2008

Membenarkan Dukun dan Tukang Ramal

Membenarkan Dukun dan Tukang Ramal

Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah adalah dosa menyekutukan Allah dalam ibadah dengan sesuatu. Seorang muslim yang mati dengan membawa dosa syirik ini dan belum bertaubat maka ia tidak akan diampuni oleh Allah dan tempatnya di neraka selama-lamanya. Tetapi sungguh sangat mengherankan, justru sebagian besar kaum muslimin terjerumus dalam dosa syirik ini baik itu disadari ataupun tidak disadarinya. Padahal media dakwah sekarang ini telah maju pesat, ada majalah, televisi, radio, atau bahkan internet dan bukanlah menjadi alasan bagi ummat Islam untuk tidak mau menimba ilmu dari berbagai media tersebut. Tentunya harus selektif karena banyak juga ahlul bid’ah yg berusaha menyesatkan kaum muslimin melalui media tersebut.

Salah satu bentuk kesyirikan yang banyak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin adalah perdukunan dan tukang ramal. Banyak sekali orang yang jahil meminta pertolongan kepada dukun dan tukang ramal, baik itu dari golongan rakyat biasa, pejabat atau bahkan para pemimpin negeri. Mereka beramai-ramai mendatangi dukun atau tukang ramal untuk berbagai kepentingan, misalnya ada orang yang minta penglarisan agar barang dagangannya laku terjual, ada yang meminta agar memperoleh jabatan atau melanggengkan jabatan, ada yang meminta kewibaan atau ada yang meminta agar tukang ramal meramalkan masa depannya dalam hal rezkinya, umurnya, jodohnya dll.
Allah Ta’ala berfirman:
“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (QS.Al- Jin:26)
Ibnul Jauziy rahimahullah berkata, “Yang mengetahui perkara ghaib hanya Allah Ta’ala saja, tiada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya. Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yg ghaib itu, dan tidak mengajarkannya kepada seorang manusiapun, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Sebab, tanda kebenaran seorang Rasul adalah pemberitahuannya tentang hal-hal ghaib. Artinya Allah akan memperlihatkan hal-hal ghaib yang dikehendaki-Nya kepada orang yang diridhai-Nya untuk mengemban risalah-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyangka bintang-bintang itu menunjukkan hal-hal yang ghaib maka telah kafirlah dia. Wallahu a’alam.”
Para dukun dan tukang ramal itu memanfaatkan kelengahan orang-orang awam (yang minta pertolongan padanya) untuk mengeruk uang mereka sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan banyak sarana untuk perbuatannya tersebut. Diantaranya dengan membuat garis di pasir, memukul rumah sipu, membaca (garis) telapak tangan, cangkir, bola kaca, cermin dan sebagainya.
Jika sekali waktu mereka benar, maka sembilan puluh sembilan kalinya hanyalah dusta belaka. Tetapi tetap saja orang-orang yang dungu tidak mengingatnya kecuali waktu yang sekali itu saja. Maka mereka pergi kepada para dukun dan tukang ramal untuk mengetahui nasib mereka di masa depan, apakah akan bahagia atau sengsara, baik dalam soal pernikahan, perdagangan, mencari barang-barang yg hilang atau yang semisalnya.
‘Aisyah radhiallahu anha berkata, “Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang para dukun, Beliau menjawab,’Mereka itu tidak ada apa-apanya!’ Para sahabat berkata lagi,’ Wahai Rasulullah , adakalanya mereka meramalkan sesuatu dan kemudian ternyata benar.’ Rasulullah SAW menjawab:
“Itu adalah sesuatu yang hak yang didengar oleh jin kemudian dibisikkannya kepada para walinya dan mereka mencampurnya dengan seratus kedustaan.”(HR. Bukhari, Muslim)
Masih dari ‘Aisyah radhilallahu anha, Rasulullah SAW bersabda:
“Para malaikat turun ke awan, kemudian mereka membicarakan sesuatu perkara yang telah ditetapkan di atas langit. setan mencuri dengar pembicaraan itu, kemudian ia membisikkannya ke telinga dukun-dukun itu, lalu para dukun itu menambahkan padanya seratus kebohongan dari dirinya.” (HR.Bukhari)
Hukum orang yang mendatangi tukang ramal atau dukun, jika mempercayai terhadap apa yang dikatakannya adalah kafir, keluar dari agama Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa datang kepada tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan apa-apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.”(HR. Ahmad)
Adapun jika orang yang datang tersebut tidak mempercayai bahwa mereka mengetahui hal-hal yg ghaib, tetapi misalnya pergi untuk sekedar ingin tahu saja, coba-coba atau sejenisnya, maka ia tidak tergolong orang kafir tetapi shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu ia menanyakan padanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.”(HR.Muslim)
Termasuk juga dalam perbuatan syirik adalah mempercayai pengaruh bintang dan planet terhadap berbagai kejadian dan kehidupan manusia.
Di dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari Zaid bin Khalid al Jahniy radhiallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah SAW mengerjakan shalat Shubuh berjamaah bersama-sama kami sedangkan langit masih menyisakan hujan yang turun semalaman. Setelah selesai beliau menghadapkan wajahnya kearah hadirin seraya berkata:
‘Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Rabb kalian?’ Mereka menjawab,’Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Lalu beliau melanjutakn,’ Dia berfirman:’ Pagi ini, diantara hamba-hamba-Ku ada yang mukmin kepada-Ku dan ada yang kafir. Orang yang berkata hujan turun menyirami kita berkat kemurahan Allah dan Rahmat-Nya, ia adalah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. sedangkan orang yang berkata hujan turun menyirami kita karena pengaruh bintang ini dan itu, ia adalah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.”
Para ulama berkata, “Apabila seorang muslim berkata,’Hujan turun karena bintang ini dan itu, dengan maksud bahwa bintang-bintang itulah yang mengadakan dan pelaku timbulnya hujan, maka ia menjadi kafir dan murtad, tanpa diragukan lagi. Namun apabila ia mengatakan itu dengan maksud bahwa itu hanya sebagai tanda-tandanya dan hujan akan turun dengan adanya tanda-tanda itu, sedangkan turunnya hujan tersebut adalah oleh Allah, Dia menciptakannya, maka ia tidak menjadi kafir. Para ulama berselisih pendapat dalam hal makruhnya. Pendapat yang lebih rajih adalah hal itu makruh, sebab itu merupakan perkataan orang-orang kafir.Itu merupakan zhahir (makna tekstual) hadits tersebut.”
Ramalan-ramalan dengan menggunakan pengaruh bintang atau planet banyak dilakukan pada masa sekarang ini, baik itu di media televise, koran ataupun majalah. Jika ia mempercayai adanya [engaruh bintang dan planet tersebut maka ia telah musyrik. Jika ia membacanya sekedar untuk hiburan maka ia telah melakukan perbuatan maksiat dan berdosa. sebab tidak dibolehkan mencari hiburan dengan membaca hal-hal syirik. Di samping itu syaitan terkadang berhasil menggoda jiwa manusia sehingga ia percaya kepada hal-hal syirik tersebut, maka membacanya termasuk sarana dan jalan menuju kemusyrikan.
Termasuk syirik, mempercayai adanya manfaat pada sesuatu yang tidaak dijadikan demikian oleh Allah. Seperti kepercayaan sebagian orang terhadap jimat, matera-mantera berbau syirik, kalung dari tulang, gelang logam dan sebagainya, yang penggunaannya sesuai dengan perintah dukun, tukang sihir atau memang merupakan kepercayaan turun temurun.
Mereka mengalungkan barang-barang tersebut di leher, atau pada anak-anak mereka untuk menolak ‘ain. Terkadang mereka mengikatkan barang-barang tersebut pada badan, menggantungkannya di mobil atau rumah. Atau mereka mengenakan cincin dengan berbagai macam batu permata, disertai kepercayaan tertentu, seperti untuk tolak bala’ atau untuk menghilangkannya. Demkian juga dengan meminta pertolongan kepada sebagian jin atau setan, gambar-gambar ruwet, tulisan-tulisan semrawut yang tidak dipahami dan sebagainya. Sebagian tukang tenung menulis ayat-ayat Al Qur’an dan mencampur-adukkannya dengan hal lain yang termasuk syirik. Bahkan sebagian mereka menulis ayat-ayat Al Qur’an dengan barang yang najis atau dengan darah haid. Menggantungkan atau mengikatkan segala yang disebutkan di atas adalah haram Ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang menngantungkan jimat maka ia telah berbuat syirik.” (HR.Ahmad)
Hal semacam ini tidak diragukan lagi sangat bertentangan dengan (perintah) tawakkal kepada Allah, dan tidaklah hal itu menambah kepada manusia selain kelemahan. Orang yang melakukan perbuatan tersebut, jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu bisa mendatangkan manfaat atau madharat (dengan sendirinya) selain Allah maka ia telah masuk dlm golongan pelaku syirik besar. Dan jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu merupakan sebab bagi datangnya manfaat atau mandharat, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, maka dia telah terjerumus pada perbuatan syirik kecil. Wallahu ‘alam
Maraji:
Kitab Al Kabair (Dosa-Dosa Besar), penulis Imam Adz dzahabi.
Kitab ‘Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa’, penulis Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid.

Rabu, Maret 26, 2008

Dalam Cahaya Ilmu dan Tauhid Para Salaf

Dalam Cahaya Ilmu dan Tauhid Para Salaf
• Muslimah.or.id
• 20 May, 2007
Penulis: Ummu Asma’
Muraja’ah: Ustadz Abu Sa’ad
Sebagian besar umat Islam sekarang ini hatinya merasa takut dan gemetar melihat kemajuan dan kecanggihan teknologi yang dimiliki orang kafir. Gentar akan kehebatan dan kejeniusan mereka dalam hal IPTEK. Memang betapa silau rasanya mata kita melihat gemerlap kemajuan mereka, dan hal itu seringkali menggelitik sebagian di antara kita untuk jatuh bangun berlari mengejar “ketertinggalan” kita dari mereka. Maka berlomba-lomba kita belajar ilmu teknologi, kedokteran, kesehatan, pertanian, siang dan malam. Sayangnya, banyak yang jadi berlebih-lebihan dan beranggapan bahwa kemuliaan Islam akan diraih dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut. Benarkah demikian?

Sesungguhnya kemuliaan itu memang tidak akan dapat tercapai tanpa ilmu. Namun ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, sebab hakikat kemuliaan sejati adalah menurut pandangan Allah Ta’ala. Maka siapakah orang yang mulia dalam pandangan Allah? Orang yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah orang yang berilmu dan dengan ilmunya tersebut ia beriman serta bertaqwa pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujaadalah: 11)
Juga firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Kami tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76)
Syaikh Abdul Malik ar-Ramadhani menukilkan perkataan Imam Malik rahimahullah tentang ayat ini dalam kitabnya Sittu Duror: “Maksudnya, (Kami tinggikan derajat mereka) dengan ilmu.”
Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani masih dalam kitab yang sama menceritakan sebuah hadist dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfan. Dan ‘Umar waktu itu mengangkatnya menjadi gubernur Makkah. ‘Umar lalu bertanya: “Siapakah yang engkau tugaskan sebagai wakilmu untuk mengawasi penduduk Wadi (Makkah)?” “Ibnu Abzi.” Jawab Nafi’. “Siapakah Ibnu Abzi itu?” ‘Umar bertanya. Nafi’ menjawab, “Dia adalah seorang budak kami yang telah dimerdekakan.” ‘Umar bertanya, “Apakah engkau menjadikan seorang mantan budak menjadi pemimpin mereka?” Nafi’ menjawab, “Dia adalah seorang yang menghafal kitabullah dan seorang alim dalam ilmu pembagian harta waris.” Lalu ‘Umar berkata, “Ketahuilah bahwa Nabi kalian telah bersabda ‘Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini (Al-Qur’an) beberapa golongan dan dengannya pula Dia merendahkan yang lainnya.’” (diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (816) serta Ibnu Majah (218))
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada illah yang haq disembah melainkan Allah, maka mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Al–Imam Bukhari menjadikan ayat ini pada salah satu bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut: “Maka Alloh Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum berucap dan beramal.”
Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani rahimahullah juga telah menukilkan sebuah perkataan yang indah dari Al-‘Alamah Ibnul Qayyim Al-Jauziah rahimahullah dalam kitabnya Sittu Duror:
“Kemuliaan ilmu itu tergantung pada apa yang dibahas, dan tidak ragu lagi bahwa ilmu yang paling mulia dan paling agung adalah ilmu bahwa Allah adalah Dzat yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia Rabbul ‘Alamin, yang menegakkan langit-langit dan bumi, Raja yang haq dan nyata, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan jauh dari segala cacat dan kekurangan serta dari segala penyamaan dan penyerupaan dalan kesempurnaan-Nya. Juga tidak ragu lagi bahwa ilmu tentang Allah, tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling mulia dan agung.”
Perkataan beliau tersebut menyiratkan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang tauhid, sebagaimana perkataan beliau selanjutnya:
“Dan ilmu tentang Allah merupakan pokok serta dasar pijakan semua ilmu. Bararangsiapa mengenal Allah, dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang tidak mengenal Rabb-Nya, terhadap yang lain dia lebih tidak mengenal lagi.”
Mengapa ilmu tentang tauhid begitu penting kedudukannya menurut pandangan para ulama?
Syaikh Abdul Aziz bin Adullah bin Baz mengatakan dalam kitabnya Al-Ilmu wa Akhlaaqu Ahlih (edisi Indonesia: Ilmu dan Akhlak Ahli Ilmu):
Bukanlah tujuan berilmu itu agar engkau menjadi seorang ‘alim atau agar engkau diberi ijazah yang diakui dalam suatu bidang ilmu. Namun tujuan di belakang semua itu adalah supaya engkau beramal dengan ilmu yang engkau miliki, agar engkau mengarahkan manusia kepada kebaikan. Beliau menyebutkan:
Karena dengan ilmu-lah seseorang sampai pada pengetahuan tentang kewajiban yang paling utama dan paling agung, yaitu men-tauhid-kan Allah dan mengikhlaskan ibadah untuk-Nya. Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa Islam didirikan atas lima dasar yang disebut rukun Islam, dan dasar yang pertama adalah syahadah Laa Ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) yang melahirkan konsekuensi bagi yang mengucapkannya untuk beriman pada Allah dan hanya beribadah kepada-Nya. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang artinya: “Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya).” (QS. Al-Mukminuun: 32)
Beribadah kepada Allah adalah tujuan utama hidup manusia di dunia ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan, Aku tidak menciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariat: 56)
Dalam beribadah terdapat dua syarat agar amal ibadah diterima, yaitu ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang tidak memiliki ilmu tidak akan mengetahui bagaimana caranya ikhlas dan bagaimana beribadah sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Betapa banyak ahli ibadah yang terjerumus dalam bid’ah karena berlebih-lebihan dalam beribadah dengan menambah atau mengurangi ibadahnya padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya:
“Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Demikian pula dengan realita bahwa sebagian umat Islam banyak yang terjerumus dalam kesyirikan. Apa yang menyebabkan terjadinya hal itu? Tidak lain adalah karena mereka tidak mengetahui mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, mana yang tauhid dan mana yang syirik, dan semua itu tidak akan diketahui kecuali dengan belajar ilmu syar’i. Ilmu akan menunjukkan bagaimana tata cara ibadah yang benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta menunjukkan pada pemahaman tauhid yang bersih dari syirik sebagaimana jalannya Rasulullah dan para shahabat sebagai sebaik-baik salaf bagi kita. Sesungguhnya kejayaan umat Islam akan dapat diraih dengan menjalankan agama ini, dan hal itu hanya akan diraih dengan ilmu syar’i. Wallahu a’lam.
Maraji’:
Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani
Ilmu dan Akhlak Ahli Ilmu karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


lowongan kerja lowongan pekerjaan sambilan

Selasa, Maret 18, 2008

Hakikat dan Kedudukan Tauhid

Tingkat pembahasan: Dasar
Penulis: Ust. Abu Isa Abdullah bin Salam
Tauhid, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kita, khususnya kaum muslimin. Karena pada umumnya kita menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai seorang yang bertauhid. Disamping itu, kata ‘tauhid’ ini sangat sering disampaikan oleh para penceramah baik pada waktu khutbah atau pengajian-pengajian. Akan tetapi bisa jadi masih banyak orang yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini bagi kehidupan manusia, bahkan bagi yang telah merasa bertauhid sekalipun.
Berangkat dari banyaknya pemahaman orang yang telah kabur tentang hakikat tauhid dan lupa akan kedudukannya yang begitu tinggi maka penjelasan yang gamblang tentang masalah ini sangat penting untuk disampaikan. Dan karena permasalahan tauhid merupakan permasalahan agama maka penjelasannya tidak boleh lepas dari sumber ilmu agama yaitu Al Quran dan As Sunnah dengan merujuk kepada penjelasan ahlinya, yaitu para ulama.
Pengertian Tauhid dan Macam-Macamnya
1. Pengertian Tauhid
Para ulama Aqidah mendefinisikan tauhid sebagai berikut: Tauhid adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala dalam rububiyah-Nya, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya serta menetapkan nama-nama dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya. Dengan demikian maka biasa dikatakan bahwa tauhid terbagi menjadi tiga macam yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma dan Sifat. Kesimpulan ini diambil oleh para ulama setelah mereka meneliti dalil-dalil Al Quran dan hadits yang terkait dengan keesaan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan dibawah ini masing-masing tauhid tersebut. (Lihat Aqidatu Tauhid Syaikh Sholih Al Fauzan Hal. 15-16).
2. Macam-Macam Tauhid
a. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah taala di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya:
- Pencipta seluruh makhluk.
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
"Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah memelihara segala sesuatu." (QS. Az Zumar: 62)
- Pemberi rizki kepada seluruh manusia dan makhluk lainnya.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezekinya…" (QS. Hud: 6)
- Penguasa dan pengatur segala urusan alam, yang meninggikan lagi menghinakan, menghidupkan lagi mematikan, memperjalankan malam dan siang dan yang maha kuasa atas segala sesuatu.
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ .
"Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan,engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang engkau kehendaki. Di tangan engkaulah segala kebijakan. Sesungguhnya engkau maha kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukan malam kedalam siang dan engkau masukan siang kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (QS. Ali Imron: 26 -27). (Lihat Aqidatu Tauhid hal 16-17).
Dengan demikian Tauhid Rububiyah mencakup keimanan kepada tiga hal yaitu:
Beriman kepada perbuatan?perbuatan Allah secara umum seperti mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan dan lain-lain.
Beriman kepada qodho dan qodar Allah.
Beriman kepada keesaan Zat-Nya. (Lihat Al Madkhol li dirosatil Aqidah Islamiyah, Ibrahim bin Muhammad Al Buraikan hal 87).
b. Tauhid Asma dan Sifat
Tauhid Asma dan Sifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala dalam nama dan sifat-Nya yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya dan hukum-hukumnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu." (QS. Al A'rof: 180)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
"Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan Nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al Isro: 110)
لِلَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى
"Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi." (QS. An Nahl: 60)
وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
"Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi." (QS. Ar Rum: 27). (Lihat Mu'taqod Ahlu Sunnah Wal Jama'ah fi Tauhidil Asma wa Sifat, DR. Muhammad bin Kholifah At Tamimi hal 31-34).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid Asma dan Sifat adalah sebagai berikut:
Menetapkan semua nama dan sifat tidak menafikan dan menolaknya.
Tidak melampaui batas dengan menamai atau mensifati Allah di luar yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Tidak menyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk-Nya.
Tidak mencari tahu tentang hakikat bentuk sifat-sifat Allah.
Beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntutan asma dan sifat-Nya. (Lihat Mu'taqod hal 40-41).
Kedua macam tauhid di atas termasuk dalam satu pembahasan yaitu tentang keyakinan atau pengenalan tentang Allah. Oleh karena itu kedua macam tauhid tersebut biasa disatukan pembahasannya dengan nama tauhid ma’rifah dan itsbat (pengenalan dan penetapan). (Lihat Al Madkhol hal 93).
Pada dasarnya fitrah manusia beriman dan bertauhid ma’rifah dan itsbat. Oleh karena itu orang-orang musyrik dan kafir yang dihadapi oleh para Rasul tidak mengingkari hal ini. Dalilnya adalah firman Allah:
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al Mu'minun: 86-89)
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ
"Berkata rasul-rasul mereka: ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi?’” (QS. Ibrahim: 10)
Kalaulah ada manusia yang mengingkari Rububiyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah, itu hanyalah kesombongan lisannya yang pada hakikatnya hatinya mengingkari apa yang diucapkan oleh lisannya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Firaun dan pembelanya.
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُوراً
"Musa menjawab: Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu'jizat-mu'jizat itu kecuali Tuhan yang Maha memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Firaun seorang yang akan binasa." (QS. Al Isra: 102)
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ َ
"Dan mereka mengingkarinya karena kedholiman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya." (QS. An Naml: 14)
Demikian juga pengingkaran orang-orang komunis dewasa ini, hanyalah kesombongan dhohir walaupun batinnya pasti mengakui bahwa tiada sesuatu yang ada kecuali ada yang mengadakan dan tidak ada satu kejadianpun kecuali ada yang berbuat.
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لا يُوقِنُونَ
"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah merekalah yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." (QS. At Thur: 35-36). (Lihat Aqidatu Tauhid hal 17-18).
c. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, bertaubat, dan lain-lain.
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
"Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. Al Baqoroh: 163)
وَقَالَ اللَّهُ لا تَتَّخِذُوا إِلَهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ
"Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua tuhan. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut." (QS. An Nahl: 51)
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
"Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain disamping Allah, padahal tidak ada sesuatu dalilpun baginya tentang itu maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhan-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir tiada beruntung." (QS. Al Mu’minun: 117). (Lihat Aqidatu tauhid hal 36, Fathul Majid hal 15)
Tauhid inilah yang dituntut harus ditunaikan oleh setiap hamba sesuai dengan kehendak Allah sebagai konsekuensi dari pengakuan mereka tentang Rububiyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah. Kemurnian Tauhid Uluhiyah akan didapatkan dengan mewujudkan dua hal mendasar yaitu:
Seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah bukan kepada yang lainnya.
Dalam pelaksanaan ibadah tersebut harus sesuai dengan perintah dan larangan Allah. (Lihat Al Madkhol hal 94).
Ketiga macam tauhid di atas memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan, dimana keimanan seseorang kepada Allah tidak akan utuh sehingga terkumpul pada dirinya ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid Rububiyah seseorang tak berguna sehingga dia bertauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah, serta Tauhid Uluhiyah seseorang tak lurus sehingga dia bertauhid asma dan sifat. Singkatnya, mengenal Allah tak berguna sampai seorang hamba beribadah hanya kepada-Nya. Dan beribadah kepada Allah tidak akan terwujud tanpa mengenal Allah. (Lihat Mu'taqod hal 47)
Kedudukan Tauhid
Karena pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global, maka para Rasul utusan Allah diutus bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul adalah untuk menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian materi dakwah para rasul adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu istilah tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi keterangan lain) maka ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah. Dalam kehidupan manusia tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antaranya sebagai berikut:
1. Hakikat tujuan penciptaan jin dan manusia.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (hanyalah) menyembah?Ku." (QS. Adz Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas menyatakan bahwa perintah menyembah/ibadah dalam firman Allah adalah perintah untuk bertauhid.
2. Hakikat tujuan pengutusan para rasul dan materi dakwah mereka.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Toghut (sesembahan selain Allah) itu." (QS. An Nahl: 36)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS. Al Anbiya: 25)
3. Kewajiban pertama bagi manusia dewasa lagi berakal.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu." (QS. An Nisa: 36)
Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk bertauhid terlebih dulu sebelum memerintahkan yang lainnya.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ْ
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad: 19)
Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk bertauhid dahulu sebelum beramal.
4. Pelanggaran tauhid yaitu syirik adalah keharaman yang terbesar.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
"Katakanlah: Marilah kubacakan apakah yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan dia, berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak……" (QS. Al Anam: 151)
Allah mendahulukan penyebutan keharaman syirik sebelum yang lainya karena keharaman syirik adalah yang terbesar.
5. Materi dakwah yang pertama kali harus diserukan Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman.
Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّكَ تَأْتِيْ قَوْماً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ـ وَفِيْ رِوَايَةٍ: إِلىَ أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ
"Sungguh kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat Lailaha Illallah-dalam riwayat lain disebutkan: ‘Supaya mereka mentauhidkan Allah’." (HR. Bukhori dan Muslim). (Lihat Kitabu Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi bab I, Aqidatu Tauhid hal 36-37)
Demikianlah sekilas tentang tauhid dan kedudukanya semoga tatkala kita mengetahui demikian agungnya kedudukan tauhid dalam kehidupan manusia maka hal itu menjadi pemacu bagi kita supaya mengetahui lebih jauh dan rinci tentang tauhid. Hal ini agar tauhid tidak hanya sebagai pengakuan belaka namun betul-betul terpatri dalam diri kita baik secara dhohir maupun bathin. Semoga Allah memudahkan bagi kita semua untuk menempuh jalan ini. Amin.

lowongan kerja sambilan lowongan pekerjaan sambilan
lowongan kerja sambilan lowongan pekerjaan sambilan

Tujuan Hidup Seorang Muslim

TUJUAN HIDUP SEORANG MUSLIMOlehSyaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-AtsarySetiap orang yang mendalami Al-Qur'an dan mempelajari Sunnah tentu mengetahui bahwa puncak tujuan dan sasaran yang dilakukan orang Muslim yang diwujudkan pada dirinya dan di antara manusia ialah ibadah kepada Allah semata.Tidak ada jalan untuk membebaskan ibadah ini dari setiap aib yang mengotorinya kecuali dengan mengetahui benar-benar tauhidullah.Da'i yang menyadari hal ini tentu akan menghadapi kesulitan yang besar dalam mengaplikasikannya. Tetapi toh kesulitan ini tidak membuatnya surut ke belakang. Sebab setiap saat dakwahnya menyerupai perkataan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:"Artinya : Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang paling menyerupai (mereka) lalu yang paling menyerupainya lagi." [1]Bagaimana tidak, sedang dia selalu meniti jalan beliau, menyerupai sirah-nya dan mengikuti jalannya? Al-Amtsalu tsumma al-amtsalu adalah orang-orang shalih yang mengikuti jalan para nabi dalam berdakwah keapda Allah, menyeru kepada tauhidullah seperti yang mereka lakukan, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menyingkirkan syirik. Mereka mengahadapi gangguan dan cobaan seperti yang dihadapi para panutannya, yaitu nabi-nabi.Oleh karena itu banyak para da'i yang menjauhi jalan yang sulit dan penuh rintangan ini. Sebab seoarang da'i yang meniti jalan itu akan menghadapi ayah, ibu, saudara, rekan-rekan, orang-orang yang dicintainya, dan bahkan dia harus menghadapi masyarakat yang merintangi, memusuhi dan menyakitinya.Lebih baik mereka menyingkir ke sisi-sisi Islam yang sudah mapan, yang tidak dimusuhi orang yang beriman kepada Allah. Di dalam sisi-sisi ini mereka tidak akan menghadapi kesulitan, kekerasan, ejekan, dan gangguan, khususnya di berbagai masyarakat Islam. Biasanya mayoritas umat justru mau memandang da'i seperti ini, menyanjung dan memuliakannya dan tidak mengejek atau pun mengganggunya, kecuali jika mereka menentang para penguasa dan mengancam kedudukan mereka. Kalau seperti ini keadaannya, tentu para penguasa ini akan menumpas mereka dengan kekerasan, sebagaiman menumpas partai politik yang hendak mengincar kursi kekuasaannya. Sebab, para penguasa dalam masalah ini tidak bisa diajak kompromi, baik mereka itu kerabat atau pun rekan, baik orang Muslim maupun orang kafir.Bagaimanapun juga kami merasa perlu mengatakan para da'i, bahwa meskipun mereka tetap harus menyaringkan suaranya atas nama Islam, toh mereka tetap harus mengasihi dirinya sendiri. Karena mereka keluar dari manhaj Allah dan jalan-Nya yang lurus dan jelas, yang pernah dilalui para nabi dan para pengikutnya dalam berdakwah kepada tauhidullah dan memurnikan agama hanya bagi Allah semata. Apa pun usaha yang mereka lakukan untuk kepentingan dakwah, toh mereka tetap harus memikirkan sarananya sebelum tujuannya. Sebab berapa banyak sarana yang remeh justru membahayakan tujuan yang hendak dicapai dan justru menjadi pertimbangan yang besar.Bahkan banyak da'i yang memaksakan cara yang mereka ciptakan sendiri dan tidak mau mengikuti manhaj para nabi dalam berdakwah kepada tauhidullah di bawah slogan-slogan yang serba gemerlap, tapi akhirnya hanya memperdayai orang-orang bodoh, sehingga mereka menganggapnya sebagai manhaj para nabi.Karena Islam mempunyai beberapa cabang dan pembagian, maka harus ada penitikberatan pada masalah yang paling penting, lalu disusul dengan yang penting lainnya. Pertama kali dakwah harus diprioritaskan pada penataan akidah. Caranya menyuruh memurnikan ibadah bagi Allah semata dan melarang menyekutukan sesuatu kepada-Nya. Kemudian perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, seperti cara yang dilakukan semua para nabi. Firman Allah."Artinya : Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja) dan juahilah thaghut'." [An-Nahl : 36]"Artinya : Dan, Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al-Anbiya' : 25]Dalam sirah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan cara yang diterapkan beliau terkandung keteladanan yang baik serta manhaj yang paling sempurna. Hingga beberapa tahun beliau hanya menyeru manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum menyuruh mendirikan sholat, melaksanakan zakat, puasa, haji, dan sebelum melarang mereka melakukan riba, zina, pencurian dan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.Jadi dasar yang paling pokok adalah mewujudkan peribadatan bagi Allah semata, sebagaimana firman-Nya."Artinya : Dan, AKu tidak menciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku." [Adz-Dzariat : 56]Hal ini tidak bisa terjadi kecuali dengan mengenal tauhidullah, baik secara ilmu maupun praktik, realitas sehari-hari maupun jihad.Anda bisa melihat berapa banyak para da'i Muslim dan jama'ah-jama'ah Islam yang menghabiskan umurnya dan menghabiskan energinya untuk menegakkan hukum Islam atau menuntut berdirinya negara Islam. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa tegaknya hukum Islam tidak akan terwujud dengan cara seperti itu. Tujuan itu tidak akan terealisir kecuali dengan suatu manhaj yang dilakukan secara perlahan-perlahan, memerlukan waktu yang panjang, dilandaskan kepada kaidah yang jelas, harus dimulai dari penanaman akidah dan menghidupkan pendidikan Islam serta menekankan masalah akhlak. Jalan yang perlahan-lahan dan panjang ini merupakan jalan yang paling dekat dan paling cepat yang bisa ditempuh. Sebab untuk bisa mengaplikasikan tatanan Islam dan hukum syariat Allah bukan merupakan tujuan yang bisa dilakukan secara spontan dan tergesa-gesa. Karena hal ini tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan merombak masyarakat, atau adanya sekumpulan orang yang berkedudukan dan berbobot di tengah kehidupan manusia secara umum yang siap memberikan pemahaman akidah Islam yang benar, baru kemudian melangkah kepada pembentukan tatanan Islam, meskipun harus menghabiskan waktu yang lama[2] Kesimpulannya, menerapkan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, mendirikan pemerintahan Islam, menjauhkan hal-hal yang diharamkan dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, semuanya merupakan penyempurna tauhid dan penyertanya. Lalu bagaimana mungkin penyertanya mendapat prioritas utama, sedangkan pangkalnya diabaikan?Kami melihat sepak terjang berbagai jama'ah yang menyalahi manhaj para rasul dalam berdakwah kepada Allah ini terjadi karena ketidaktahuan mereka terhadap manhaj ini. Padahal orang yang bodoh tidak pantas menjadi da'i. Sebab syarat terpenting dalam aktivitas dakwah adalah ilmu, sebagaimana yang difirmankan Allah tentang Nabi-Nya."Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf : 108]Jadi, keahlian seorang da'i yang paling penting adalah ilmu pengetahuan.Kemudian kami melihat jama'ah-jama'ah yang menisbatkan diri kepada dakwah ini saling berbeda-beda. Setiap jama'ah menciptakan pola yang tidak sama dengan jama'ah lain dan meniti jalannya sendiri. Ini merupakan akibat dari tindakan yang menyalahi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena manhaj beliau hanya satu, tidak terbagi-bagi dan tidak saling berselisihan. Firman Allah."Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku."Orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada di atas jalan yang satu ini dan tidak saling berselisih. Tapi orang-orang yang tidak mengikuti beliau tentu saling berselisih. Firman Allah."Artinya : Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya." [Al-An'am : 153]Jadi tauhid merupakan titik tolak dakwah kepada Allah dan tujuannya. Tidak ada gunanya dakwah kepada Allah kecuali dengan tauhid ini, meskipun ia ditempeli dengan merk Islam dan dinisbatkan kepadanya. Sebab semua rasul, terutama dakwah penutup mereka, Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimulai dari tauhidullah dan sekaligus itu pula tujuan akhirnya. Setiap rasul pasti mengatakan untuk pertama kalinya seperti yang dijelaskan Allah."Artinya : Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya." [Al-A'raaf :59 ][3]Ini merupakan tujuan hidup orang Muslim yang paling tinggi, yang untuk itulah dia menghabiskan umurnya sambil mengusahakannya di tengah kehidupan manusia dan menguatkannya di antara mereka.Khaliq yang telah menyediakan apa-apa yang menunjang kemaslahatan kehidupan dunianya, Dia pula yang menetapkan syariat agama bagi mereka dan menjaga kelangsungannya. Allah selalu menjaga Islam, karena Islam itulah tujuan dari diciptakannya dunia bagi manusia, lalu mereka diberi kewajiban untuk beribadah dan menguatkan tauhid, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Ta'ala.[Disalin dari kitab Ad-Da'wah ilallah Bainat-tajammu'i-hizby Wat-Ta'awunisy-Syar'y, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary. Edisi Indonesia: Menggugat Keberadaan Jama'ah-Jama'ah Islam. Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit, Pustaka Al-Kautsar. Cet. Pertama, September 1994; hal.38-44]_________FooteNote[1]. Diriwayatkan At-Tirmidzy, hadits nomor 2400, Ibnu Majah, hadits nomer 4023, Ahmad 1/172, dari Sa'id bin Abi Waqqash, dengan sanad hasan.[2]. Limadza a'damuni?[3]. Mukaddimah Manhajul Anbiya'

Sabtu, Maret 15, 2008