Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, Mei 31, 2008

Hadits no. 44 Arba’in An-Nawawi: Persusuan

عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: (الرضاعة تحرم ما تحرم الولادة) خرجه البخاري ومسلم
“Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Persusuan mengharamkan (menjadikannya mahram) semua yang diharamkan oleh kelahiran.’” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita peran dan pengaruh persusuan dalam hal penularan kemahraman (mahramiyyah). Sebelum kita membahas lebih jauh siapa saja yang menjadi mahram kita karena adanya hubungan persusuan, ada baiknnya bila kita mengetahui kriteria persusuan yang menghasilkan kemahraman ini.
Pertama: Batas umur anak yang disusui.

Para ulama’ telah sepakat bahwa persusuan bila terjadi di saat anak berumur di bawah dua tahun, maka persusuan ini akan menghasilkan hubungan kemahraman antara anak yang menusu dengan wanita yang menyusuinya dan juga keluarga dan kerabatnya. Kesepatan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة
Artinya: “Dan para ibu hendaknya mereka menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang hendak menyempurnakan persusuan.” (QS. Al Baqarah: 233)
Dari ayat ini kita dengan jelas memahami bahwa persusuan yang wajar dan lazim berlaku ialah persusuan semasa anak berumur kurang dari dua tahun. Sehingga selama anak masih berumur dibawah dua tahun, persusuan yang diberikan kepadanya dianggap sebagai persusuan yang benar dan memiliki konsekwensi hukum dalam syariat islam. Dan menurut penelitian ilmiyyah dikatakan bahwa ASI setelah anak berumur dua tahun, tidak baik lagi untuk disusukan.
Adapun persusuan setelah anak berumur lebih dari dua tahun, maka para ulama’ berbeda pendapat, kebanyakan ulama’ (jumhur) menyatakan bahwa persusuan yang dilakukan di saat anak telah berumur lebih dari dua tahun, maka persusuan tersebut tidak ada pengaruhnya, dan tidak ada konsekwensi hukumnya. Ini adalah pendapat kebanyakan istri-istri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam Mereka berdalil dengan beberapa dalil, diantaranya ayat diatas, dan beberapa hadits, diantaranya hadits berikut:
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها وعندها رجل، فشق ذلك عليه وتغير وجهه، قالت: يا رسول الله إنه أخي من الرضاعة. فقال: (انظرن من إخوانكن، فإنما الرضاعة من المجاعة). رواه مسلم وأبو داود
“Dari ‘Aisyah rodiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari masuk ke rumah ‘Aisyah, sedangkan di sisi ‘Aisyah ada seorang laki-laki, maka hal ini menjadikan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam merasa keberatan dan raut wajah beliau-pun menjadi berubah, Melihat yang demikian ‘Aisyah berusaha menjelaskan dengan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia adalah saudaraku sepersusuan.’ Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mendengar ucapan ‘Aisyah ini bersabda: ‘Perhatikanlah oleh kalian, siapakah sebenarnya saudara (sepersusuan) kalian, karena sesungguhnya persusuan itu hanya karena rasa lapar.’” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang disebut sebagai persusuan dalam syari’at ialah persusuan yang dilakukan karena anak tersebut merasakan kelaparan bila tidak disusui. Dan biasanya anak yang telah mencapai usia dua tahun, ia sudah tidak memiliki ketergantungan dengan ASI, karena ia sudah bisa makan, dan sudah tidak merasa kelaparan karena tidak menyusu kepada ibunya. Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang mereka jadikan dasar atas pendapat ini.
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa persusuan tidak dibatasi dengan umur dua tahun, bahkan walaupun seseorang telah dewasa bila menyusu sejumlah susuan yang telah ditentukan dalam syari’at, maka ia akan menjadi anak susuan bagi wanita itu dan terjalinlah hubungan kemahraman antara keduanya, ini adalah pendapat ‘Aisyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Pendapat ini berdasarkan kisah berikut:
عن عائشة قالت: جاءت سهلة بنت سهيل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت: يا رسول الله إني أري في وجه أبي حذيفة من دخول سالم وهو حليفه. فقال النبي صلى الله عليه و سلم ارضعيه. قالت: وكيف أرضعه وهو رجل كبير؟ فتبسم رسول الله صلى الله عليه و سلم وقال: قد علمت أنه رجل كبير. زاد عمرو –الناقد- في حديثه: وكان قد شهد بدرا.
وفي رواية أن سهلة قالت: فرجعت فقالت: إني قد أرضعته فذهب الذي في نفس أبي حذيفة
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ia menuturkan: Sahlah bintu Suhail datang menemui Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya melihat rasa cemburu pada wajah Abi Huzaifah (suaminya) gara-gara Salim masuk ke rumahku, sedangkan ia adalah halifnya (bekas anak angkatnya).’ Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Susuilah dia.’ Sahla hpun merasa keheranan dan berkata: ‘Bagaimana mungkin aku menyusuinya, sedangkan ia adalah orang yang sudah besar (dewasa)?!’ Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tersenyum, dan bersabda: ‘Aku sudah tahu bahwa ia adalah orang yang sudah besar (dewasa).’ Salah seorang perawi yaitu ‘Amr An-Naqid, dalam riwayatnya menambahkan: Dan dia (Salim) telah ikut berperang dalam perang Bader. Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sahlah-pun pulang kerumahnya, lalu mengisahkan: ‘Sesungguhnya aku telah menyusuinya, dan rasa cemburu yang ada di hati Abu Hudzaifah-pun sirna.’” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(أرضعيه خمس رضعات) رواه مالك والشافعي وأحمد
“Susuilah ia sebanyak lima kali susuan.” (HR. Malik, As Syafi’i, dan Ahmad)
Riwayat kedua ini menjauhkan kemungkinan bahwa kasus ini merupakan kekhususan bagi Salim Maula Abi Huzaifah, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkannya untuk menyusuinya sebanayk lima kali, layaknya persusuan anak yang di bawah umur dua tahun. Seandainya ini merupakan kekhususan bagi Salim saja, niscaya tidak ada perlunya disusui sebanyak lima kali, dan cukup sekali saja.
Walau demikian, Imam Muslim meriwayat dari Umi Salamah rodhiallahu ‘anha, istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata:
أبى سائر أزواج النبي صلى الله عليه و سلم أن يدخلن عليهن أحدا بتلك الرضاعة، وقلن لعائشة: والله ما نرى هذا إلا رخصة أرخصها رسول الله صلى الله عليه و سلم لسالم خاصة، فما هو بداخل علينا أحد بهذه الرضاعة ولا رائينا.
“Seluruh istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam enggan bila ada seseorang yang masuk ke rumah mereka dengan sebab persusuan setelah besar semacam ini, dan mereka pun berkata kepada ‘Aisyah: ‘Sungguh demi Allah kami tidak berpendapat tentang persusuan ini, melainkan sebagai rukhshah bagi Salim secara khusus. Maka tidak akan ada seorang-pun yang masuk kerumah kami dan juga tidak akan ada orang yang melihat kami dengan sebab persusuan macam ini.’”
Sebagian ulama’ menggabungkan antara dua pendapat ini, dengan satu pendapat yang lebih moderat, yaitu: pada dasarnya persusuan hanya berlaku pada anak yang di bawah umur dua tahun, kecuali pada kasus seperti kasusnya Salim Maula Abi Huzaifah, yaitu bila sudah terlanjur memelihara anak orang lain semenjak kecil hingga dewasa, atau bila seseorang yang senantiasa terpaksa untuk masuk ke rumah seseorang, misalnya anak temuan yang dipelihara oleh seseorang (Laqith), maka persusuan boleh dilakukan walau anak itu telah berumur lebih dari dua tahun. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Sebagian ulama’ ada yang tawwaquf.
Kedua: Jumlah susuan.
‘Aisyah dan Imam Syafi’i, berpendapat: bila seorang anak telah menyusu pada seorang wanita sebanyak lima kali (Yang dihitung satu susuan yaitu bila anak tersebut menyusu kemudian melepaskannya karena telah merasa kenyang atau melepaskannya dengan sendirinya, bukan karena dipaksa untuk melepaskan atau karena kaget mendengar sesuatu atau sebab lainnya), maka ia telah menjadi anak susuan wanita itu, dan terjalin antara keduanya tali kemahraman, adapun bila kurang dari lima kali, maka tidak dihukumi sebagai susuan yang mengharamkan. Pendapat ini berdasarkan hadits berikut:
عائشة أنها قالت: كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن، ثم نسخن بخمس معلومات، فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن. رواه مسلم
“Dari ‘Aisyah rodliallahu ‘anha, ia berkata: Dahulu termasuk ayat Al Qur’an yang diturunkan ialah ayat (yang artinya): ‘Sepuluh kali susuan yang telah jelas akan menjadikan haram (keduanya untuk menikah)’, kemudian dihapuskan (dinasekh) dengan ayat (yang artinya): ‘Lima susuan yang telah jelas…’ kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam wafat dan ayat ini termasuk ayat Al Qur’an yang masih dibaca (oleh sebagian sahabat).” (Muslim)
Dawud Ad Dzahiri, Abu Tsaur, berpendapat bahwa jumlah minimal susuan yang mengakibatkan terjalinnya hubungan kemahraman antara anak dan wanita pemilik susu ialah tiga kali susuan dan selebihnya, pendapat ini berdasarkan pemahaman terhadap hadits berikut:
عن أم الفضل قالت : دخل أعرابي على نبي الله صلى الله عليه و سلم وهو في بيتي، فقال: يا نبي الله إني كانت لي امرأة فتزوجت عليها أخرى، فزعمت امرأتي الأولى أنها أرضعت امرأتي الحدثى رضعة أو رضعتين فقال نبي الله صلى الله عليه و سلم : (لا تحرم الإملاجة والإملاجتان). رواه مسلم
“Dari Ummul Fadhl, ia berkata: Ada seorang arab badui yang menemui Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam disaat beliau berada di rumahku, kemudian ia bertanya: ‘Wahai Nabi, sesungguhnya dahulu aku memiliki seorang istri, kemudian aku menikah lagi dengan wanita lain, lalu istri pertamaku mengaku bahwa ia pernah menyusui istri baruku sekali atau dua-kali susuan?’ Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Sekali susuan atau dua kali susuan, tidaklah mengharamkan.’” (Muslim)
Abu Hanifah, Imam Malik dll berpendapat bahwa walau anak tersebut baru menyusu satu kali, maka hukum persusuan telah terjalin antara keduanya. Mereka berdalil dengan dhahir firman Allah:
وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة
Artinya: “Dan diharamkan atas kamu ibu-ibumu yang menyusuimu, dan saudaramu perempuan sepersusuan.” (QS. An Nisa’: 23)
Dan juga hadits kita ini, yaitu hadits Arba’in An Nawawiyah no: 44. Mereka berkata: Secara teks, ayat dan hadits di atas tidak mensyaratkan jumlah susuan tertentu, untuk terjalinnya tali kemahraman karena persusuan.
Ketiga:
An Nawawi Dan Al Hafidh Ibnu Hajar berkata:
(الرضاعة تحرم ما تحرم الولادة) أي وتبيح ما تبيح، وهو بالإجماع فيما يتعلق بتحريم النكاح وتوابعه، وانتشار الحرمة بين الرضيع وأولاد المرضعة وتنزيلهم منزلة الأقارب في جواز النظر والخلوة والمسافرة. ولكن لا يترتب عليه باقي أحكام الأمومة من التوارث ووجوب الإنفاق والعتق بالملك والشهادة والعقل وإسقاط القصاص.
“Persusuan mengharamkan (menjadikannya mahram) semua yang diharamkan oleh (persaudaraan karena hubungan) kelahiran, maksudnya: dan juga membolehkan segala yang dibolehkan oleh tali persaudaraan karena hubungan nasab (kelahiran). Dan hal ini telah disepakati oleh ulama’ dalam hal-hal yang berhubungan dengan haramnya pernikahan dan yang berkaitan dengannya, terjalinnya kemahraman antara anak yang disusui dan anak-anak wanita yang menyusuinya, dan mereka dianggap sebagai kerabatnya dalam hal bolehnya memandang, berkhulwah, dan safar bersamanya. Akan tetapi tidak mengakibatkan terjalinnya hukum-hukum hubungan antara seorang ibu dengan anak kandungnya, misalnya masalah waris mewarisi, kewajiban menafkahi, menjadi merdeka bila sang anak memiliki/membeli budak yang ternyata ia adalah ibunya, tidak sah untuk saling menjadi saksi, kewajiban membayar diyat atas pembunuhan yang dilakukan oleh sang ibu, dan gugurnya hukum qishash bila sang ibu membunuh anak kandungnya.”
Keempat:
Hubungan kemahraman yang diakibatkan oleh persusuan, hanya berlaku pada anak yang menyusu dan juga anak keturunannya. Adapun saudara kandungnya atau ayahnya, atau ibunya atau kerabatnya yang lain, tidak berlaku pada mereka hukum persusuan ini.
Sebagai contoh bila seorang wanita bernama: ‘Aisyah, menyusui anak laki-laki yang bernama Umar dan anak perempuan bernama Laila, maka hukum kemahraman hanya terjalin antara Umar dan Laila beserta seluruh keturunannya dengan ‘Aisyah dan kerabat ‘Aisyah.
Adapun kerabat Umar, misalnya: saudara laki-lakinya atau ayahnya, atau pamannya, atau yang lain, boleh untuk menikahi ibu susu Umar, yaitu ‘Aisyah, dan juga menikahi saudara sesuannya yaitu Laila.
Al Hafizh Ibnu Hajar menukilkan dari Al Qurthubi:
والحكمة في ذلك أن سبب التحريم ما ينفصل من أجزاء المرأة وزوجها، وهو اللبن. فإذا اغتذى به الرضيع صار فيه جزءا من أجزائهما فانتشر التحريم بينهم بخلاف قرابات الرضيع.
“Dan hikmah berlakunya hukum persusuan antara anak dengan ibususu dan suaminya, sesungguhnya sebab terjadinya kemahraman adalah susu yang dihasilkan dari hasil hubungan (sebagian tubuh) wanita dan suaminya. Sehingga bila seorang anak bayi menusu air susu ini, maka di dalam tubuhnya terdapat sebagian dari tubuh keduanya, oleh karena itu terjalinlah tali kemahraman antara mereka. Beda halnya dengan kerabat anak yang menyusu tersebut.”
Kelima:
Hubungan kemahraman ini juga berlaku antara anak yang menyusu dengan suami ibu susunya dan juga kerabatnya. Maksudnya Suami yang menghamili wanita itu sehingga wanita itu mengeluarkan air susu yang disusu oleh anak tersebut.
Sebagai contoh:
Bila suami ‘Aisyah bernama Jabir, maka Jabir ini adalah ayah susuan bagi Umar, sehingga seluruh kerabat Jabir adalah kerabat susuan bagi Umar. Bila Jabir memiliki istri lain bernama Khadijah, dan darinya ia memiliki anak yang bernama Fatimah, maka Fatimah adalah saudara perempuan seayah susuan bagi Umar, dan demikian juga kerabat Jabir lainnya. Sebagaimana Khadijah adalah ibu tiri susuan bagi Umar. Ini adalah pendapat jumhur ulama’ selain Dhahiriyyah, Ibrahim bin Ulayyah dan Rabi’atur Ra’yi, dan ini juga pendapat yang rajih dan didukung oleh beberapa hadits shahih, diantaranya:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: استأذن علي أفلح أخو أبي القعيس بعد ما أنزل الحجاب، فقلت: لا آذن له حتى أستأذن فيه النبي صلى الله عليه و سلم فإن أخاه أبا القعيس ليس هو أرضعني، ولكن أرضعتني امرأة أبي القعيس. فدخل علي النبي صلى الله عليه و سلم فقلت له: يا رسول الله، إن أفلح أخا أبي القعيس استأذن فأبيت أن آذن له حتى استأذنك. فقال النبي صلى الله عليه و سلم : (وما منعك أن تأذني عمك؟ قلت: يا رسول الله، إن الرجل ليس هو أرضعني، ولكن أرضعتني امرأة أبي القعيس. فقال: ائذني له، فإنه عمك تربت يمينك. قال عروة: فلذلك كانت عائشة تقول: حرموا من الرضاعة ما تحرمون من النسب. متفق عليه
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ia mengisahkan: Aflah saudara Abul Qu’ais setelah turun ayat hijab, meminta izin untuk masuk ke rumahku, maka akupun berkata: ‘Aku tidak akan mengizinkannya hingga aku meminta izin kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, karena bukanlah sudara laki-lakinya yaitu Abul Qu’ais yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku ialah istri Abul Qu’ais.’ Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumahku, dan ak upun bertanya kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abul Qu’ais meminta izin untuk masuk ke rumah, dan aku pun enggan untuk mengizinkannya hingga aku meminta izin kepadamu.’ Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apa yang menghalangimu untuk mengizinkan pamanmu untuk masuk?’ Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki itu (Abul Qu’ais) tidak pernah menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku ialah istri Abul Qu’ais.’ Maka Beliaupun menjawab: ‘Izinkanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah pamanmu, semoga engkau senantiasa beruntung.’ Urwah (bin Zubair –perawi hadits ini dari ‘Aisyah) berkata: Oleh karena itu dahulu ‘Aisyah senantiasa berkata: ‘Haramkanlah karena hubungan persusuan, seluruh orang yang engkau haramkan karena hubungan nasab.’” (Muttafaqun ‘Alaih)
Keenam:
Dalam hal persusuan menurut sebagian ulama’ diterima persaksian satu wanita yang menyusui (ibu susu) walau hanya satu orang saja, dan tidak ada orang lain yang menguatkan persaksiannya, pendapat ini berdasarkan kisah berikut:
عن عقبة بن الحارث أنه تزوج أم يحيى بنت أبي إهاب، قال: فجاءت أمة سوداء، فقالت: قد أرضعتكما. فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فأعرض عني، قال: فتنحيت، فذكرت ذلك له، قال: (وكيف وقد زعمت أن قد أرضعتكما، فنهاه عنها) رواه البخاري
“Dari sahabat “uqbah bin Al Harits, bahwasannya ia pernah menikahi Ummu Yahya binti Abi Ihab. Kemudian pada suatu hari datang seorang wanita berkulit hitam, lalu ia berkata: ‘Sungguh aku pernah menyusui kamu berdua.’ Maka aku menyebutkan (menanyakan) hal ini kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun berpaling dariku. Kemudian aku pun bergeser (untuk menghadap kepada beliau) dan akupun kembali menanyakan hal itu kepadanya. (akhirnya) Beliau menjawab: ‘Dan harus bagaimana lagi, wanita itu telah mengaku bahwa ia pernah menyusui kamu berdua.’ Maka beliau pun melarangnya (untuk mempergauli istrinya).” (Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan:
ففارقها ونكحت زوجا غيره. رواه البخاري
“Maka ‘Uqbah-pun meninggalkannya (mencerainya) dan wanita itu pun menikah lagi dengan lelaki lain.” (Bukhari)
Akan tetapi kebanyakan ulama’ menafsirkan hadits ini, bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memaksa ‘Uqbah bin Al Harits untuk menceraikannya, akan tetapi beliau hanya menganjurkannya, dalam rangka meninggalkan syubhat. Karena bila persaksian satu orang diterima, maka akan timbul berbagai mafsadah dan fitnah, setiap kali ada wanita yang benci kepada keluarga seseorang, maka dengan mudah ia mengaku-aku bahwa ia pernah menyusui keduanya.
Pendapat ini berdasarkan keumuman ayat:
فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى
Artinya: “Dan jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, agar bila seorang ssalah satu wanita lupa, maka wanita lainnya mengingatkannya.” (QS. Al baqarah: 282)
Sebagai penutup pembahasan ini, akan saya sebutkan seluruh mahram seseorang karena hubungan nasab, agar diketahui dengan jelas mahramnya karena hubungan persusuan, sebagaimanan yang disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 23:
ولا تنكحوا ما نكح أباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة ومقتا وساء سبيلا . حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأمهات نسائكم وربائبكم اللاتي في حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم وحلائل أبناكم الذين من أصلابكم وأن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف إن الله كان غفورا رحيما
Artinya: “Dan janganlah engkau menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh orang tuamu (ayahmu), kecuali yang telah terjadi pada masa lalu, sesungguhnya yang demikian (menikahi istri ayah) ialah kekejian, kemurkaan dan seburuk-buruk jalan. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 23)
Bila diperinci, maka mahram seseorang dari nasab ialah:
1. Ibu, mencakup nenek dari ibu dan juga dari ayah, dan seterusnya.
2. Setiap wanita yang pernah dinikahi oleh ayah atau kakek dan seterusnya.
3. Anak perempuan, mencakup cucu dari anak perempuan juga dari anak laki-laki, dan seterusnya.
4. Saudara perempuan, mencakup saudara seayah dan seibu, saudara seayah, dan saudara seibu.
5. Saudara perempuan ayah (bibi/‘ammah), mencakup saudara perempuan kakek, dan seterusnya.
6. Saudara perempuan ibu (bibi/khalah), mencakup saudara perempuan nenek dan seterusnya.
7. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan), mencakup anak perempuan keponakan dari saudara laki-laki, dan seterusnya.
8. Anak perempuan saudara perempuan (keponakan), mencakup anak perempuan keponakan dari saudara perempuan.
9. Ibu istri (ibu mertua). Sehingga dalam persusuan, diharamkan atas kita untuk menikahi ibu susu istri kita.
10. Anak istri yang telah ia pergauli (rabaaib). Sehingga dalam persusuan. Bila istri kita sebelum menikah dengan kita pernah menyusui seorang anak perempuan, maka haram atas kita untuk menikahi anak susuan istri kita.
11. Istri anak kandung laki-laki (halaailul abna’). Sehingga dalam persusuan, ayah susu, haram untuk menikahi istri anak laki-laki susuannya.
12. Menggabungkan antara dua wanita yang bila salah satunya adalah laki-laki, maka haram atas mereka untuk menikah, hal ini mencakup:
A. Menggabungkan antara dua wanita bersaudara.
B. Menggabungkan antara seorang wanita dengan bibiknya, ini berdasarkan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لا تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها) متفق عليه
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidak boleh seorang wanita dinikahi bersama saudara wanita ayahnya (’ammah) juga tidak bersama saudara wanita ibunya (khalah).” (Muttafaqun ‘Alaih)
Bila mahram karena pertalian nasab telah jelas, maka mahram karena pertalian persusuan sama dengan pertalian nasab. Semoga dengan penjelasan ini maksud dan kandungan hadits telah jelas bagi kita semua, amiin.
والله تعالى أعلم، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
dari www.muslim.or.id

BERJABAT TANGAN YANG DIANJURKAN OLEH ISLAM

Bab ini memuat tiga hadits, yaitu:

Pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, yang mempunyai beberapa sanad, di antaranya: Dari Quza'ah, ia berkata: "Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu ia berkata: 'Kemarilah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam kepadaku ketika beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ قَزَعَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ *

"Aku menitipkan agamamu, amanatmu untuk segala akhir perbuatanmu kepada Allah". Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (n0. 2600) Imam Hakim (2/97), Imam Ahmad (juz 2/25, 38 dan 136), dan Imam Ibnu Asakir (14/290/2 dan 15/469/1) diperoleh dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza'ah. Perawi-perawinya tergologn tsiqoh (konsisten terhadap ajaran Islam, cerdas dan kuat ingatannya) tetapi ada yang diperselisihkan yaitu Abdulaziz.


Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan Quza'ah. Orang yang dimasukkan tersebut adalah Ismail bin Jari, namun sementara ulama juga ada yang menyebutkannya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda-beda. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Taqrib mengatakan: Yang benar adalah "Yahya bin Ismail".

Saya (Al-albani) berpendapat: bahwa hadits itu adalah dha'if, tetapi kemudian menjadi kuat oleh karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat Ibnu Asakir terdapat matan sebagai berikut: "Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja. Setelah itu ia mengucapkan: (Ia menyebutkan kalimat seperti hadits di atas).

Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian: 'Izinkan aku mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkannya kepadaku, lalu ia berucap: (seperti kalimat pada hadits yang pertama)." Hadits ini dtahrij oleh Imam Tirmidzi (2/255, cet. bulaq), Imam ahmad (2/7), dan Abdul Ghany Al-Maqdisy di juz 63 (41/1) dari Sa'id bin Khutsaimin dari Handzallah yang dikutip dari Salim. Imam tirmidzi berkomentar: "Hadits ini statusnya hasan shahih gharib (ada diantara ketida status tersebut), yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Salim."

Saya (Al-Albani) berpendapat: "hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa'id masih dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya (1/442 dan 2/97) dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin Abu Sufyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan: "Saya berada di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata: "Saya hendak pergi." Lalu Ibnu Umar berkata:Tunggulah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadar£íu: (Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits pertama)."

Imam Hakim berkomentar; "Hadits ini statusnya shahih menurut syarat Bukhari-MusIim." Penilaiannya ini disetujui oieh Adz-Dzahabi.

Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap gharib (Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang menyendiri, baik di dalam keberadaan, sifat maupun keadaannya) hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah. karena dua orang perawi tsiqah, yaitu lshak bin Sulaiman dan AI-Walid bin Musiim, yang berbeda dengan lbnu Khutsaim, sebab lbnu Khutsaim meriwayatkannya dan Handzalah dan Salim, sedangkan kedua perawi tsiqah tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoieh dari AI-Qasim bin Muhammad, dari Salim. Dan inilah yang nampaknya lebih shahih.

Abu Ya'la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya(2/270), dari jalur AI-Walid bin Muslim saja.

Dari Mujahid, yang menceritakan: "Saya dan seorang laki-laki pergi ke Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah lbnu Umar. Tatkala akan berpisah ia berkata: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Jika ia (musafir) menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah- mudahan Allah berkenan menjaganya. Dan saya menitipkan agama, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah s-wt. "

Hadits dengan riwayat ini disampaikan oieh lbnu Hibban di dalam kitab Shahihnya (2376), dengan sanad yang shahih.

Dari Nafi¡ Radiyallahu 'anhu dikutip dari Mujahid yang menuturkan: "Apabila Rasulullah saw meninggalkan seseorang, maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri yang melepaskannya, dan beliau berkata: (Kemudian perawi menyebutkan ucapan selamat tinggal seperti hadits yang pertama). "

Hadits ini diriwayatkan oieh Imam Tirmidzi (2/255, cet. Bulaq), yang menilainya gharib.

Saya berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oieh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha 'if dari segi jalur (sanad) ini. Hal itu bisa demikian karena hadits itu diriwayatkan oieh lbrahim bin Abdurrahman bin Zaid bin Umayyah dari Nafi¡Ç. Padahal lbrahim ini tidak dikenal (majhul).

Tetapi lbrahim tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri. namun ada perawi lain yang juga meriwavatkannya yaitu Ibnu Majah (2/943 nomor 2826), yang diperoleh dari Ibnu Abi Laila dari Nafi¡Ç. Akan tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya. Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. la tidak menyebutkan cerita tentang berjabat tangan.

Hadits kedua dari Abdullah AI-Khathami yang menceritakan: "Adalah Rasulidlah saw jika hendak meninggalkan tentaranya, bersabda: (kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan oleh Nabi saw seperti pada hadits pertama). "

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Sina di dalam "Amalul-Yaum Wal-Lailah" (nomor: 498) dengan sanad yang shahih menurut Muslim.

Hadits ketiga, dari Abu Hurairah yang memberitakan: "Rasulullah saw jika meninggalkan seseorang beliau bersabda: (sebagaimana kalimat pada hadits pertama). "

Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oieh Imam Ahmad (2/358); dari lbnu Luhai'ah yang mengutip dari AI-Hasan bin Tsauban dari Musa Ibnu Wirdan yang diperolehnya dari Abu Hurairah.

Saya berpendapat, bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya lbnu Luhai'ah agak buruk hafalannya. Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai oieh AI-Laits bin Sa'ad dan Sa'id bin Abi Ayyup yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya, "

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih dan sanadnya jayyid (shahih). Hadits ini juga diriwayatkan oieh Imam Ahmad (403/1)

Saya juga melihat bahwa lbnu Luhai'ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama pada riwayat yang ditakhrij oieh lbnu Sina (nomor: 501) dan lbnu Majah (2/943, nomor: 2825). Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang pertama.

Faedah-faedah Hadits

Dari hadits yang shahih ini dapat diambil beberapa faedah:

l. Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan kalimat yang telah berlaku, yaitu :¡ÉASTAU DI¡ÇULLAHA DIINAKA WA AMAANATAKA WAKHAWAATIIMA ¡ÆAMALIKA¡É (artinya: Aku menitipkan agamamu, amanatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada Allah)

atau (yang artinya: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya. ")

2. Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya: al-akhdzu bil-yadi memegang tangan atau menggenggamnya. Di dalam Lisanul Arab disebutkan: Kata al-mushafahah berarti menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata at-tashajuh, Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah (ketika bertemu). Kata itu merupakan tindakan menempelkan telapak tangan seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan berhadap-hadapan.

Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan arti tersebut, seperti hadits marfu¡Ç yang diriwayatkan oieh Hudzaifah:

"Jika seorang mukmin bertemu dengan orang mukmin lainnya, lalu mengacapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran, "

Sementara itu AI-Mundziri (3/270) berkomentar: "Imam Thabrani meriwayatkan hadits ini di dalam ¡ÈAll-Ausath'' dan sepengetahuan saya, perawi-perawinya tidak ada yang terkena jarh (cacat).

Saya berpendapat, hadits ini mempunyai beberapa syahid (hadits penguat) yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas di dalam kitabnya Al-Mukhtarah (nomor: 240/1-2). AI-Mundziri menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya.

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh beberapa Syaikh, yakni berjabatan tangan dengan dua tangan adalah menyelisihi sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail.

3. Berjabatan tangan juga diajarkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi saw:

"Merupakan kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan. "

Hadits ini dilihat dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan judul tersendiri tentang pernbahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi setelah saya teliti, temyata sanadnya dha'if dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu, saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsilasul-Ukhra (Rangkaian Hadits yang Lain) (1288).

Adapun mengenai pengambilan dalil pembuktian kebenarannya tentang disyaratkannyasalam ketika berpisah adalah sabda Nabi saw: "Jika salah seorang di antara kalian memasaki masjid, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah salam. Salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang kedua. "

Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama' yang mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah adalah bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dalil. Memang, orang yang berpendapat tentang adanya hadits-hadits yang mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari'atkannya berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua adalah anjuran {mustahabbah}. Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dasar.

Adapun berjabatan tangan selepas shalat adalah bid'ah. Hal ini tidak diregukan lagi, kecuali antra dua orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi itu berjabatan tangan memang disunnahkan. *)
dari www.muslim.or.id
(Dikutip dari: "Silsilah Hadits Shahih" karya Al-Muhadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Pustaka Mantiq, Buku I th 1995, hal 38 - 44)


Apa Itu Hadîts Qudsiy

Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.

Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.


Definisi

Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
• Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
• Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
• Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadîts Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
dari www.muslim.or.id
(SUMBER: Buku Taysîr Musthalah al-Hadîts, karya DR.Mahmûd ath-Thahhân, h.127-128)

Apa Itu Hadits Hasan

Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen).
Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan tentangnya?
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas tapi padat, insya Allah.

Definisi

a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.

b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:

1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)

2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)

3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)

Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”

Definisi Terpilih

Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”

Hukumnya

Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)

Contohnya

Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)

Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.

Tingkatan-Tingakatannya

Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.

Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.

Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”

1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”

2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.

Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”

Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:

1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”

2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”

Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”

Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.

Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya
Dapat Ditemukan Hadits Hasan

Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:

1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.

2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.

3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.
Dari www.muslim.or.id
(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)



Amar Maruf Nahi Mungkar

عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
وفي رواية : ليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل
Dari Abu Sa'id Al Khudry -radhiyallahu 'anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." (HR. Muslim no. 49)
Dalam riwayat lain, "Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)"
Hadits ini adalah hadits yang jami' (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari'at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, "Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari'at), karena amalan-amalan syari'at terbagi dua: ma'ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari'at." (Lihat At Ta'yin fi Syarhil Arba'in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, "Tidaklah ada sesudah itu", maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka." (Majmu' Fatawa, 7/427)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
Mengingkari dengan tangan.
Mengingkari dengan lisan.
Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, "Bagaimana beramar ma'ruf dan nahi mungkar?" Beliau menjawab, "Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan," saya bertanya lagi: "Bagaimana dengan tangan?" Beliau menjawab, "Memisahkan di antara mereka," dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, "Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata." (Lihat, Al Adabusy Syar'iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma'ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, "Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya." (Jami'ul Ulum wal Hikam, 2/258)
قال رجل لعبد الله بن مسعود -رضي الله عنه- : هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر. فقال عبد الله: بل هلك من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas'ud, "Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran", lalu Ibnu Mas'ud berkata, "Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas'ud di atas dan berkata, "Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma'ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan." (Jami'ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu 'anhu tatkala ditanya, "Apakah kematian orang yang hidup?" Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
"Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kemudian dalam amar ma'ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari'at Islam secara umum dan dalam beramar ma'ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta'ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma'ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:
يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم
"Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk." (QS. Al-Maa'idah: 105)
Dan mendapat petunjuk hanya dengan melakukan kewajiban." (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah)
Dan beliau juga menambahkan, "Sesungguhnya perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari'at."
Imam Ibnu Qoyyim berkata, "Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya." (I'laamul Muwaqqi'iin, 3/4)
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari'atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan Syarh Arba'in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255)
-Kedua: Karakteristik orang yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar
Sekalipun amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di atas, akan tetapi orang yang melakukan hal itu harus memiliki kriteria berikut ini:
Berilmu.
Lemah lembut dan penyantun.
Sabar.
Berilmu
Amar ma'ruf dan nahi mungkar adalah ibadah yang sangat mulia, dan sebagaimana yang dimaklumi bahwa suatu ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali apabila ikhlas kepada-Nya dan sebagai amal yang saleh, suatu amalan tidak akan mungkin menjadi amal saleh kecuali apabila berlandaskan ilmu yang benar. Karena seseorang yang beribadah tanpa ilmu maka ia lebih banyak merusak daripada memperbaiki, karena ilmu adalah imam amalan, dan amalan mengikutinya.
Syaikhul Islam berkata, "Jika ini merupakan definisi amal saleh (yang memenuhi persyaratan ikhlas dan ittiba') maka seseorang yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar wajib menjadi seperti ini juga terhadap dirinya, dan tidak akan mungkin amalannya menjadi amal saleh jika ia tidak berilmu dan paham, dan sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, "Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya lebih banyak dari apa yang diperbaikinya," dan dalam hadits Mu'adz Bin Jabal, "Ilmu adalah imam amalan, dan amalan mengikutinya," dan ini sangat jelas, karena sesungguhnya niat dan amalan jika tidak berlandaskan ilmu maka ia adalah kebodohan, kesesatan dan mengikuti hawa nafsu... dan inilah perbedaan antara orang-orang jahiliyah dan orang-orang Islam." (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu anil Mungkar, hal. 19. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah)
Ilmu di sini mencakup ilmu tentang kebaikan dan kemungkaran itu sendiri, bisa membedakan antara keduanya dan berilmu tentang keadaan yang diperintah dan yang dilarang.
Lemah Lembut dan Santun (Ar-Rifq dan Al Hilm)
Seorang yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar hendaklah mempunyai sifat lemah lembut dan penyantun, sebab segala sesuatu yang disertai lemah lembut akan bertambah indah dan baik, dan sebaliknya jika kekerasan menyertai sesuatu maka akan menjadi jelek, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
"Sesungguhnya tidaklah lemah lembut ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek." (HR. Muslim no. 2594)
وقال : إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله، ويعطي على الرفق ما لا يعطى على العنف وما لا يعطي على ما سواه
"Sesungguhnya Allah Maha Penyantun, Ia menyukai sifat penyantun (lemah lembut) dalam segala urusan, dan memberikan dalam lemah lembut apa yang tidak diberikan dalam kekerasan dan apa yang tidak diberikan dalam selainnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
قال الإمام أحمد بن حنبل -رحمه الله-: والناس يحتاجون إلى مداراة ورفق في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، بلا غلظة إلا رجلا معلنا بالفسق، فقد وجب عليك نهيه وإعلامه، لأنه يقال: ليس لفاسق حرمة، فهؤلاء لا حرمة لهم . نقله ابن مفلح في "الآداب الشرعية" 1/212، وابن رجب في جامع العلوم والحكم 2/272
Imam Ahmad berkata, "Manusia butuh kepada mudaaraah (menyikapinya dengan lembut) dan lemah lembut dalam amar ma'ruf dan nahi mungkar, tanpa kekerasan kecuali seseorang yang terang-terangan melakukan dosa, maka wajib atasmu melarang dan memberitahunya, karena dikatakan, 'Orang fasik tidak memiliki kehormatan' maka mereka tidak ada kehormatannya."
Jika ini di zaman Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlussunnah wal Jama'ah, zaman di mana ilmu dan sunnah lebih dominan dalam kehidupan manusia dan mewarnai perilaku mereka kecuali ahlul bid'ah, tentu manusia di zaman kita sekarang ini lebih membutuhkan lemah lembut dan santun dalam menghadapi dan menyikapi kesalahan yang mereka lakukan, apalagi dengan berkembangnya kebodohan di kalangan kaum muslimin dan semakin jauhnya mereka dari bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta'ala. Kita berdoa semoga Allah mengembalikan kaum muslimin kepada kebenaran, amiin.
وقال أيضا: ينبغي أن يأمر بالرفق والخضوع، فإن اسمعوه ما يكره لا يغضب فيكون يريد أن ينتصر لنفسه . ذكره ابن مفلح في الآداب الشرعية 1/213، وابن رجب في جامع العلوم والحكم 2/272
"Mesti ia menyeru dengan lemah lembut dan merendahkan diri, jika mereka memperdengarkan (memperlihatkan) kepadanya apa yang dibenci jangan ia marah, karena (kalau marah) berarti ia ingin membalas untuk dirinya sendiri."
Sabar
Hendaklah seseorang yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar bersifat sabar, sebab sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap orang yang mengajak kepada kebenaran dan kebaikan serta mencegah dari kemungkaran pasti akan menghadapi bermacam bentuk cobaan, jika ia tidak bersabar dalam menghadapinya maka kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak dari kebaikannya. Sebagaimana Firman Allah tentang wasiat Luqman terhadap anaknya,
وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم الأمور
"Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17)
Oleh karena itu Allah ta'ala memerintahkan para rasul -di mana mereka adalah panutan orang yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar- untuk bersabar, sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad -shallallahu 'alaihi wa sallam- yang terdapat pada awal surat Muddatstsir, surat yang pertama turun setelah Iqra':
يا أيها المدثر، قم فأنذر، وربك فكبر، وثيابك فطهر، والرجز فاهجر، ولا تمنن تستكثر، ولربك فاصبر
"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu beri peringatan. Dan Rabbmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu bersabarlah."
Dan sangat banyak ayat yang memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi segala cobaan dan problem hidup secara umum, dan dalam berdakwah secara khusus.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Sabar terhadap cobaan dari manusia dalam beramar ma'ruf dan nahi mungkar jika tidak dipergunakan pasti akan menimbulkan salah satu dari dua permasalahan (kerusakan): boleh jadi ia meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, atau timbulnya fitnah dan kerusakan yang lebih besar dari kerusakan meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, atau semisalnya, atau mendekatinya, kedua hal ini adalah maksiat dan kerusakan,
Allah Ta'ala berfirman:
وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم الأمور
"Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Maka barang siapa yang menyeru tapi tidak sabar, atau sabar tetapi tidak menyeru, atau tidak menyeru dan tidak bersabar, maka akan timbul dari ketiga macam ini kerusakan, kebaikan itu hanya terdapat dalam menyeru (kepada kebaikan) dan bersabar." (Al Adabusy Syar'iyah, Ibnu Muflih, 1/181)
Maka harus ada ketiga karakter di atas: ilmu, lemah lembut, sabar, ilmu sebelum menyeru dan melarang, dan lemah lembut bersamanya, dan sabar sesudahnya, sekalipun masing-masing dari ketiga karakter tersebut harus ada pada setiap situasi dan kondisi, hal ini sebagaimana yang dinukilkan dari sebagian salaf:
لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فقيهًا فيما أمر به، وفقيها فيما ينهى عنه، ورفيقا فيما يأمر به، ورفيقا فيما ينهى عنه، حليما فيما يأمر به، وحليما فيما ينهى عنه. نقله شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى 28/137 وابن مفلح في الآداب الشرعية 1/213
"Tidaklah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran kecuali orang yang berilmu (memahami) apa yang ia serukan, dan memahami apa yang dia larang, dan berlemah lembut di dalam apa yang ia serukan, dan berlemah lembut dalam apa yang ia larang, dan santun dalam apa yang ia serukan dan santun dalam apa yang ia larang."
Ketiga: Syarat perbuatan yang wajib diingkari
Lihat: Tanbiihul Ghaafiliin, Ibnu An Nahhas, hal. 25-30, Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu anil Mungkar, Al Qodhy Abu Ya'la, hal. 158, Jami' Ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab, 2/269-271, Al Adabusy Syar'iyah, Ibnu Muflih, 2/188-190
Tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang wajib diingkari, kecuali perbuatan dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan berikut ini:
1. Perbuatan tersebut benar suatu kemungkaran, kecil atau besar.
Maksudnya: Nahi mungkar tidak khusus terhadap dosa besar saja, tetapi mencakup juga dosa kecil, dan juga tidak disyaratkan kemungkaran tersebut berbentuk maksiat, barang siapa yang melihat anak kecil atau orang gila sedang meminum khamr maka wajib atasnya menumpahkan khamr tersebut dan melarangnya, begitu juga jika seseorang melihat orang gila melakukan zina dengan seorang perempuan gila atau binatang, maka wajib atasnya mengingkari perbuatan tersebut sekalipun dalam keadaan sendirian, sementara perbuatan ini tidak dinamakan maksiat bagi orang gila.
2. Kemungkaran tersebut masih ada.
Maksudnya: Kemungkaran tersebut betul ada tatkala seorang yang bernahi mungkar melihatnya, apabila si pelaku telah selesai melakukan kemungkaran tersebut maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasihat, bahkan dalam keadaan seperti ini lebih baik ditutupi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة
"Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (dosa dan kesalahan)nya di dunia dan akhirat." (HR. Muslim)
Sebagai contoh: Seseorang yang telah selesai minum khamr kemudian mabuk, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara menasihati apabila ia telah sadar. Dan ini (menutupi kesalahan dan dosa seorang muslim) tentunya sebelum hukum dan permasalahan tersebut sampai ke tangan pemerintah atau pihak yang berwenang, atau orang tersebut seseorang yang berwibawa dan tidak dikenal melakukan kemungkaran dan keonaran, apabila permasalahan tersebut telah sampai ke tangan pemerintah dengan cara yang syar'i, dan orang tersebut dikenal melakukan kerusakan, kemungkaran dan keonaran, maka tidak boleh ditutupi dan diberi syafaat. Adapun kemungkaran yang diperkirakan akan muncul dengan tanda-tanda dan keadaan tertentu, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasehat lewat ceramah agama, khutbah dll.
3. Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai.
Maksudnya: Tidak boleh memata-matai suatu kemungkaran yang tidak jelas untuk diingkari, seperti seseorang yang menutupi maksiat dan dosa di dalam rumah dan menutup pintunya, maka tidak boleh bagi seorang pun memata-matai untuk mengingkarinya, karena Allah ta'ala melarang kita untuk memata matai, Allah ta'ala berirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hujuraat: 12)
Persyaratan ini diambil dari hadits di atas, (من رأى منكم منكرا), Manthuq (lafadz)nya menjelaskan bahwa pengingkaran berkaitan dengan penglihatan, Mafhumnya: Barangsiapa yang tidak melihat maka tidak wajib mengingkari.
4. Kemungkaran tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan khilafiyah
Maksudnya: Jika permasalahan tersebut khilafiyah, yang berbeda pendapat ulama dalam menilainya maka tidak boleh bagi yang melihat untuk mengingkarinya, kecuali permasalahan yang khilaf di dalamnya sangat lemah yang tidak berarti sama sekali, maka ia wajib mengingkarinya, sebab tidak semua khilaf yang bisa diterima, kecuali khilaf yang memiliki sisi pandang yang jelas.
Sebagai contoh: Jika anda melihat seseorang memakan daging unta kemudian ia berdiri dan langsung shalat, jangan diingkari, sebab ini adalah permasalahan khilafiyah.
Di antara contoh permasalahan yang khilafiyah yang tidak berarti, dan sebagai sarana untuk berbuat suatu yang diharamkan: Nikah mut'ah (kawin kontrak) dan ini adalah suatu cara untuk menghalalkan zina, bahkan sebagian ulama mengatakan ini adalah perzinaan yang nyata. Dalam hal ini ulama Ahlus sunnah sepakat tentang haramnya nikah mut'ah kecuali kaum Syi'ah (Rafidhah), dan khilaf mereka di sini tidak ada harganya sama sekali.
Diambil dari www.muslim .or.id

Rabu, Mei 28, 2008

Menggapai Ketentraman Hakiki Dengan Tauhid

Ketentraman, sesuatu yang sangat diinginkan oleh setiap insan. Tanpanya hidup akan terasa tersiksa, sempit dan diliputi kekalutan. Apalagi jika kekalutan itu menyebabkan penderitaan yang tiada akhirnya. Sungguh menakutkan. Lalu ketentraman manakah yang diharapkan oleh seorang hamba selain ketentraman hati di dunia dan selamat dari jilatan api neraka di akhirat kelak.
Allah ta'ala yang Maha bijaksana dan Maha mengasihi hamba-hamba-Nya telah menunjukkan bagaimanakah cara supaya ketentraman hakiki bisa diraih oleh seorang hamba. Marilah kita buka lembaran Al Qur'an, niscaya permasalahan ini sudah ada jawabannya.
Allah ta'ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al An'aam: 82)
Siapakah Mereka ?
Di dalam ayat ini Allah memberikan janji yang sangat menggiurkan. Setiap insan tentu merasa ingin mendapatkan apa yang dijanjikan-Nya itu. Keamanan dan ketentraman, dan juga karunia petunjuk. Allahu akbar, adakah nikmat yang lebih manis dan lebih lezat daripada keduanya ? Akan tetapi sadarilah nikmat agung ini hanya akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba yang memenuhi kriteria yang diberikan oleh-Nya, mereka bukan sembarang hamba. Ingatlah, yang akan meraihnya adalah "orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman."
Syaikh Hamad bin 'Atiq rahimahullah mengatakan, "Mereka itu adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah dan tidak menodai tauhidnya dengan kesyirikan. Mereka itulah yang mendapatkan keamanan. Sedangkan keamanan itu ada dua macam: Keamanan Mutlak dan Keamanan Muqayyad. Yang pertama itu ialah keamanan dari tertimpa azab. Keamanan ini diperuntukkan bagi orang yang meninggal di atas tauhid dan tidak terus menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Adapun yang kedua berlaku bagi orang yang meninggal di atas tauhid akan tetapi dia masih dalam keadaan berkubang dalam dosa-dosa besar. Maka dia akan memperoleh keamanan dari hukuman kekal di dalam neraka." (Ibthalu Tandiid, hal. 19).
Dengan demikian, seorang muslim yang mati dalam keadaan bertauhid (ini juga berarti dia tidak melakukan pembatal keislaman, red) dan tidak berkubang dalam dosa-dosa besar niscaya akan meraih keamanan mutlak. Yaitu terbebas dari siksaan. Sedangkan seorang muslim yang mati dalam keadaan bertauhid akan tetapi bergelimang dalam dosa-dosa besar maka nilai keamanan yang akan diperolehnya lebih rendah dari keamanan yang pertama. Kalau yang pertama dia terbebas dari siksa, sedangkan yang kedua ini dia tidak akan disiksa terus-menerus alias akhirnya juga akan masuk surga. Jadi dia tidak akan kekal di dalam neraka, kalau Allah menyiksanya.
Bukankah Ayat Ini Umum ?
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Ibnu Mas'ud mengatakan, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.' (QS. Al An'aam: 82). Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, 'Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya?' Maka beliau menjawab, 'Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana yang kalian sangka. Tidakkah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba yang shalih, 'Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar.' (QS. Luqman: 13). Yang dimaksud dengan zalim dalam ayat itu adalah syirik.'" (HR. Al Bukhari (32), Muslim (124), Imam Ahmad (6/69/3589) cet. Ar Risalah, dikutip dari Ibthaalu Tandiid, hal. 19-20).
Inilah bukti kedalaman pemahaman para sahabat radhiyallahu ta'ala 'anhum terhadap bahasa Arab. Di dalam bahasa Arab, apabila terdapat suatu kata benda yang nakirah (indefinitif, bertanwin) dalam konteks kalimat negatif (pe-nafian) seperti kata zulmin (kezaliman) di dalam ayat alladziina lam yalbisuu iimaanahum bizulmin (Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman) ini maka kata tersebut berlaku umum mencakup segala bentuk kezaliman. Baik kezaliman terhadap diri sendiri, kepada orang lain maupun kezaliman terhadap hak Pencipta. Sehingga wajar apabila turunnya ayat itu terasa berat bagi para sahabat, bukan karena mereka tidak mau melaksanakan isi ayat itu. Akan tetapi karena mereka menyangka syarat untuk bisa mendapatkan keamanan dan hidayah adalah harus bersih dari segala bentuk kezaliman. Sehingga merekapun merasa tidak ada seorangpun diantara mereka yang sanggup memenuhi syarat tersebut. Dengan spontan mereka berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya?"
Namun kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud kezaliman dalam ayat tersebut adalah syirik. Beliau pun berdalil dengan sebuah ayat yang menceritakan perkataan Luqman kepada puteranya "Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar." Hal itu beliau lakukan supaya mereka mengerti bahwa bukanlah syarat untuk bisa meraih ketentraman dan hidayah itu seseorang harus membersihkan dirinya dari semua bentuk kezaliman. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi Adam dan Hawa 'alaihimas salaam saja pernah melakukan kezaliman dan berdo'a kepada Allah menyesali kezaliman mereka. Mereka berdua berdo'a "Rabbanaa zalamnaa anfusanaa wa inlam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin." (Wahai Rabb kami. Sesungguhnya kami ini telah berbuat zalim terhadap diri kami. Dan apabila paduka tidak mengampuni dosa kami dan tidak merahmati kami niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi). (lihat QS. Al A'raaf: 23).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini. Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini (syirik) maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk..." (Fathul Majiid, hal. 34).
Sehingga dari sini kita juga bisa memetik sebuah kaidah tafsir "An Nakiratu fi siyaaqi nafyi tufiidul 'umuum" (kata benda nakirah dalam konteks kalimat negatif memberikan makna umum) (lihat Al Qawa'id Al Hisan karya Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa'di rahimahullah, hal. 22-23). Bagaimana kaidah ini bisa diambil dari kisah tersebut, bukankah Nabi menolak penafsiran para sahabat?! Benar, Nabi memang menolak penafsiran mereka terhadap maksud zalim di dalam ayat ini. Akan tetapi beliau tidak menolak kaidah mereka (kaidah bahasa Arab). Apa yang beliau lakukan ialah memberikan tambahan informasi bahwa yang dimaksud oleh ayat ini bukanlah keumuman lafaznya sebagaimana lafaz umum lain yang ada di dalam ayat atau hadits, akan tetapi yang dimaksud adalah salah satu kandungannya saja. Beliau tidak mengatakan, "Kaidah kalian itu salah" akan tetapi beliau mengatakan "Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana yang kalian sangka... Yang dimaksud dengan zalim dalam ayat itu adalah syirik." Lafaz semacam ini di dalam istilah ilmu ushul fiqih disebut dengan al 'umum urida bihi al khushush (lafazh umum tetapi maksud yang disimpan di baliknya ialah makna yang khusus).
Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan, "Di dalam ayat ini, kata zalim dalam keadaan nakirah dan berada di konteks kalimat negatif, yaitu firman Allah ta'ala, 'Dan mereka tidak mencampuradukkan.' Ini menunjukkan kepada seluruh macam kezaliman. Akan tetapi apakah lafaz umum di sini yang dimaksud adalah lafaz umum yang mengalami pengkhususan (umum al makhsush) ataukah ia termasuk lafaz umum tetapi makna yang dikehendaki adalah makna khusus (umum uriida bihi al khushush). ...." Kemudian beliau mengatakan bahwa yang dimaksud oleh penulis Kitab Tauhid tatkala membawakan ayat ini adalah umum uriida bihi al khushush. Kemudian beliau berkata, "Memang benar, kata zalim dalam ayat ini adalah nakirah dalam konteks pe-nafian (yaitu dengan adanya kata lam yang artinya tidak), sehingga ia menunjukkan makna umum. Namun ia termasuk lafaz umum yang menyimpan maksud makna khusus. Ia khusus hanya meliputi salah satu macam kezaliman yaitu syirik. Dengan demikian, letak keumumannya beralih kepada seluruh makna yang tercakup dalam macam-macam syirik, bukan pada segala bentuk kezaliman. Sebab kezaliman itu meliputi:
Kezaliman hamba terhadap dirinya dengan berbuat maksiat,
atau kezalimannya terhadap orang lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hak orang lain,
dan termasuk juga di dalamnya kezaliman hamba terhadap hak Allah jalla wa 'ala yaitu dengan melakukan syirik terhadap-Nya.
Nah, (syirik) inilah yang dimaksud dengan lafaz umum ini. Oleh karenanya lafaz tersebut bersifat umum mencakup semua jenis kesyirikan... Sehingga makna dari ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka.' ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun." (lihat At Tamhiid, hal. 24).
Demikianlah tafsiran yang diberikan oleh para ulama salaf terhadap ayat ini. Imam Ibnu Jarir membawakan sebuah riwayat dari Rabi' bin Anas bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ikhlash (memurnikan ibadah) untuk Allah saja. Imam Ibnu Katsir mengatakan, "Mereka itu adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja. Mereka tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya. Mereka itulah yang akan merasakan keamanan pada hari kiamat serta memperoleh hidayah di dunia maupun di akhirat." (lihat Fathul Majiid, hal. 34).
Pentingnya Peranan Rasulullah Dalam Menjelaskan Ayat
Dari sini kita bisa memahami betapa pentingnya kedudukan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penjelas kandungan ayat-ayat Al Qur'an. Seandainya diantara para sahabat tidak ada beliau niscaya ayat ini akan sangat sulit dimengerti oleh orang-orang. Namun inilah bukti kasih sayang Allah kepada umat manusia. Allah tidak membiarkan akal-akal mereka bebas (liberal) menafsirkan Al Qur'an menurut pemahaman mereka sendiri-sendiri. Akan tetapi Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka guna menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan kepada mereka. Allah ta'ala berfirman yang artinya, "Dan Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Adz Dzikra (wahyu) supaya engkau menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (QS. An Nahl: 44). Inilah salah satu peranan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai penafsir ayat Al Qur'an. Dengan demikian batillah dakwaan kaum yang mengaku hanya berpedoman dengan Al Qur'an tanpa Al Hadits, mereka itulah yang disebut Al Qur'aniyyuun atau di dalam negeri lebih kita kenal dengan nama Ingkarus Sunnah. Mereka racuni pemikiran para pemuda dengan tafsiran ala mereka sementara di sisi lain mereka mencampakkan tafsiran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, subhaanallah. Adakah tindakan congkak yang melebihi kelakuan mereka ini?! Wallahul musta'aan.
Sempurnakan Tauhid, Niscaya Balasannya Juga Sempurna
Tauhid yang sempurna hanya bisa diraih dengan membersihkan diri dari segala bentuk kesyirikan, kebid'ahan dan kemaksiatan (lihat Fathul Majiid, hal. 56). Inilah yang disebut dengan tahqiq tauhid (merealisasikan tauhid). Namun bukan berarti orang seperti ini tidak pernah berbuat dosa. Orang yang berhasil mentahqiq tauhid adalah yang apabila terjatuh di dalam dosa dia segera bertaubat dan kembali mentaati Allah subhanahu wa ta'ala. Dia bekerja keras mengikis segala bentuk maksiat, karena baginya kemaksiatan itu akan mengurangi kemurnian tauhidnya. Dia memandang dosa laksana sebuah gunung besar yang akan roboh menimpa dirinya. Demikianlah sifat seorang mukmin sejati. Dia tidak memandang kecilnya dosa. Akan tetapi yang selalu diperhatikannya ialah keagungan dan kebesaran Dzat yang dosa itu tertuju kepadanya. Sehingga pantaslah jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada Allah 70 kali sehari bahkan dalam riwayat lain disebutkan 100 kali. Inilah sosok manusia terbaik di muka bumi, inilah sosok pen-tahqiq tauhid terhebat sepanjang zaman. Lalu bagaimanakah dengan kita yang mengaku sebagai pengikut Nabi, bahkan mengaku salafi? Sudahkah istighfar dan taubat menghiasi lisan dan hati kita? Ataukah hati dan lisan kita justru telah pekat dengan rasa dengki dan kata-kata kotor lagi menjijikkan, bahkan lebih menjijikkan daripada tindakan melahap bangkai saudaranya? Wahai jiwa, telitilah dirimu sendiri dahulu...
Syaikhul Islam mengatakan, "Barangsiapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida' al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida', red). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi karena perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri."
Beliau melanjutkan, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, 'Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik' itu bukan berarti barangsiapa yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash Al Qur'an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga." (Fathul Majiid, hal. 35).
Kemudian beliau rahimahullah juga menjelaskan, "Apabila yang dimaksud dengan sabda Nabi, 'Sesungguhnya yang dimaksud di sini adalah syirik' adalah syirik akbar saja maka maksudnya ialah barangsiapa yang tidak melakukan syirik akbar maka dia kelak akan mendapatkan rasa aman dari siksaan dunia dan akhirat yang dijanjikan Allah untuk orang-orang musyrik (karena dengan terbebas dari syirik akbar dia bukan termasuk golongan orang musyrik, red). Dan apabila yang beliau maksud adalah jenis kesyirikan, maka perbuatan hamba dalam menzolimi dirinya sendiri seperti bersikap kikir karena demikian besar cintanya kepada harta sehingga tidak mau menunaikan kewajiban berinfak juga tergolong syirik ashghar. Begitu pula kecintaannya kepada sesuatu yang dibenci oleh Allah ta'ala sampai-sampai membuatnya lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsunya di atas kecintaan kepada Allah juga termasuk syirik ashghar, dan lain sebagainya. Maka golongan orang semacam ini akan semakin kehilangan unsur keamanan dan petunjuk sesuai dengan banyaknya syirik ashghar yang dilakukannya. Berdasarkan sudut pandang inilah para ulama salaf dahulu juga mengkategorikan perbuatan-perbuatan dosa (selain syirik) ke dalam jenis syirik ini." Demikian kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah." (lihat Fathul Majiid, hal. 35).
Ketika mengomentari jawaban Nabi terhadap kemusykilan yang dilontarkan oleh para sahabat, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan, "Jawaban ini, demi Allah merupakan jawaban yang sangat memuaskan. Sesungguhnya kezaliman mutlak lagi sempurna adalah kezaliman yang ada pada perbuatan syirik. Sebab kesyirikan merupakan tindakan menempatkan ibadah bukan pada tempat yang semestinya. Sedangkan keamanan dan petunjuk yang mutlak mencakup keamanan di dunia dan akhirat serta petunjuk meniti jalan yang lurus. Maka kezaliman yang mutlak lagi sempurna itulah yang menjadi sebab terangkatnya rasa aman dan petunjuk yang mutlak lagi sempurna. Hal ini tidaklah menafikan adanya kezaliman yang bisa menjadi sebab seorang hamba meraih sekedar rasa aman (muthlaqul amn) dan sekedar petunjuk (muthlaqul huda). Maka cermatilah hal ini. Sekedar balasan (rasa aman dan petunjuk) tetap akan didapatkan oleh orang yang masih memiliki iman (tauhid yang tidak tercampuri syirik). Sedangkan balasan istimewa (yaitu rasa aman dan petunjuk yang sempurna) akan didapatkan oleh orang yang istimewa pula (yaitu yang tauhidnya bersih dari berbagai kezaliman)." Dinukil secara ringkas. Demikian kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah. (lihat Fathul Majiid, hal. 36, dengan sedikit penyesuaian redaksional).
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah kesyirikan. Sehingga makna ayat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh bahwa makna "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka" ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun." (lihat At Tamhiid, hal. 24). Ketentraman dan hidayah inilah yang disebut dengan al amn al muthlaq dan al ihtida' al muthlaq (lihat Al Qaul Al Mufid I/35-36). Artinya seorang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik pasti memperoleh hidayah dan rasa aman. Hidayah di dunia dengan ditunjuki meniti jalan yang lurus (mendapat taufik untuk memeluk dan mengamalkan Islam sampai mati dan tidak melakukan pembatal keislaman). Sedangkan hidayah di akhirat berupa bimbingan untuk masuk surga. Adapun rasa aman di dunia berupa rasa tentram di dalam hati dan tidak bersedih karena selain Allah. Dan akhirnya adalah rasa aman di akhirat, yaitu diselamatkan dari terus menerus dalam siksaan api neraka (lihat At Tamhiid, hal. 25 dan Al Qaul Al Mufid, hal. 35-36) Inilah balasan yang akan didapatkan oleh semua orang yang bertauhid.
Perbedaan Kadar Rasa Aman dan Petunjuk
Sementara apabila dilihat dari sudut pandang balasan yang didapatkan hamba, maka rasa aman dan petunjuk itu ada dua macam:
Pertama; rasa aman dan petunjuk yang sempurna, atau dengan istilah lain bisa juga disebut memperoleh keamanan dan petunjuk dalam kadar yang maksimal. Balasan ini hanya akan didapatkan orang-orang khusus di kalangan orang-orang yang bertauhid. Keistimewaan mereka dibandingkan sesama muwahhid lainnya adalah karena mereka bisa membersihkan dirinya dari segala bentuk syirik, bid'ah dan maksiat. Karena di dalam bid'ah dan maksiat itu sendiri juga terkandung unsur syirik yaitu ketika pelakunya lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsu di atas kecintaan kepada aturan Allah. Maka apabila yang dimaksud rasa aman ialah rasa aman yang sempurna maka makna kezaliman yang tepat ialah yang mencakup segala macam kezaliman, bukan hanya syirik. Sehingga semakin sempurna tauhid dalam diri seorang hamba maka semakin sempurna pulalah ketentraman dan hidayah yang didapatkannya. Sebaliknya, apabila semakin banyak kezaliman yang dilakukannya maka semakin berkuranglah kadar ketentraman dan hidayah yang bisa diraihnya.
Kedua; rasa aman dan petunjuk yang sekadarnya. Atau dengan istilah lain bisa juga disebut memperoleh keamanan dan petunjuk dalam kadar yang minimal. Inilah yang disebut dengan muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida'. Balasan ini akan didapatkan oleh setiap hamba yang bertauhid, meskipun dia mati dalam keadaan masih berkubang dengan dosa-dosa besar (selain syirik). Yang demikian itu dikarenakan dia masih memiliki modal dasar keimanan atau tauhid yang lurus, sehingga dia tetap berhak untuk menikmati surga di akhirat kelak. Oleh karena itu apabila yang dimaksud dengan rasa aman adalah terbebas dari kekal di neraka maka makna kezaliman yang tepat ialah kesyirikan dan dosa-dosa lain yang setingkat dengannya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh ayat dan diterangkan Nabi kepada para sahabat.
Dengan penjelasan ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa sebenarnya tidak terdapat pertentangan antara mereka yang menafsirkan zalim dalam ayat ini dengan syirik maupun yang tetap membiarkannya berlaku umum meliputi semua macam kezaliman. Tergantung dari sudut pandang mana mereka menafsirkannya. Sebab pada dasarnya mereka semua sepakat semua ahli tauhid pasti masuk surga, dan pelaku dosa-dosa besar mendapatkan ancaman siksa di dalam neraka meskipun mereka juga bertauhid. Seorang muwahhid yang terjerumus dalam syirik kecil juga akan mengalami penurunan kadar rasa aman dan hidayah sebanyak kesyirikan yang dilakukannya. Sebagaimana seorang muwahhid yang berbuat maksiat akan mengalami penurunan kadar rasa aman dan hidayah sebanyak maksiat yang dilakukannya. Sebagaimana seseorang yang mengeluarkan dirinya dari barisan kaum muwahhidin kelak akan merasa menyesal karena telah kehilangan seluruh rasa aman dan petunjuk dari-Nya. Lalu sekarang siapakah yang akan merasa aman dan membusungkan dada seraya berkata "Inilah saya, seorang muwahhid!"
Bahkan tinta sejarah dan pena wahyu telah membuktikan fenomena sebaliknya yang sangat mengagumkan dan luar biasa. Sehingga Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pun menorehkan ayat ini di dalam Bab Al Khauf minasy Syirk (merasa takut terjerumus dalam syirik) dalam Kitab Tauhid beliau. Inilah perkataan seorang pengibar bendera tauhid kelas satu, Ibrahim 'alaihis salaam, "(Tuhanku) Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan arca-arca. Duhai Tuhanku, sesungguhnya mereka itu telah menyesatkan banyak manusia." (QS. Ibrahim: 35-36). Lalu bagaimanakah rasa takut yang seharusnya menghinggapi hati orang yang kelasnya jauh di bawah Ibrahim? Sehingga salah seorang tokoh generasi tabi'in Ibrahim At Taimi rahimahullah mengatakan sesudah membaca ayat ini, "Lantas, siapakah orangnya yang merasa aman dari bencana (syirik) setelah Ibrahim?!!" (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana tercantum dalam Ad Durr Al Mantsur 5/46, dinukil dari At tamhiid, hal. 50).
Allahumma inni a'udzu bika an usyrika bika wa ana a'lam wa astaghfiruka lima la a'lam. Walhamdulillaahi Rabbil 'aalamiin.
***
Tingkat pembahasan: Dasar
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Update Terakhir ( Rabu, 02 Januari 2008 ) (www.muslim.or.id)

Selasa, Mei 27, 2008

Manhaj Salaf as-Saleh dalam Menatap Fenomena Perjuangan Umat Islam Hari Ini

Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102).
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhya Allah selalu menjaga dan megawasi kamu." (An-Nisaa':1).

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampunimu bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenagan yang besar." (Al-Ahzab: 71).
Kebangkitan dunia Islam telah menyadarkan banyak orang tentang kekuatan Islam, meskipun kebangkitan tersebut tidak melalui kekuasaan. Tetapi, Islam memasuki kalbu, otak, dan urat nadi orang yang mencari kebenaran. Hanya saja, kebangkitan tersebut perlu lebih diarahkan kepada satu asas dan bingkai yang diterima oleh semua pihak yang secara jujur membawa misi Islam, li'ilaa'i kalimatillah.
Arah dan bingkai tersebut tak lain dan tak bukan adalah manhaj salaf as-saleh, berupa perangkat pemahaman yang utuh dari ajaran Rasulullah saw. dan contoh yang diberikan oleh generasi-generasi pertama Islam yang tulus dan banyak mendapat pujian dari Rasulullah saw. Hal tersebut tentunya untuk menghindari berbagai penyimpangan yang dialami oleh sebagian umat Islam. Penyimpangan tersebut bervariasi: dari yang besar sampai kepada dualisme pemahaman dengan maksud memilah-milah untuk kepentingan tertentu. Hal itu sangat berbahaya karena dasarnya adalah hawa nafsu. Karena, pemahaman sesungguhnya harus menyeluruh dan kita terima tanpa tawar-menawar. Imam Malik menyebutkan bahwa generasi terakhir tidak akan berjaya, kecuali mengikuti jejak generasi pertama. Kemenangan umat Islam yang dipimpin oleh Rasullah saw. dan para sahabatnya berhasil menyingkirkan dua super power saat itu: Persia dan Romawi. Beratus-ratus tahun kejayaan itu berlangsung sampai menerangi sebagian wilayah barat dan timur. Cordova menjadi sinar Islam di Barat, dan Baghdad menjadi sinar Islam di Timur. Direbutnya Baghdad oleh pasukan Tartar dan jatuhnya Cordova ke tangan penjajah salibis membuat kekuatan Islam melemah dan memberikan peluang bagi Barat untuk memulai infasi militernya ke hampir seluruh wilayah Islam, kecuali Saudi Arabia.
Dengan dominasi Barat itu, sebagian umat Islam yang mempunyai jiwa infriority complex menganggap bahwa kekuatan Islam telah habis dan harus menghadapi model kehidupan Barat yang maju dan modern, baik sistem politiknya (demokrasi) maupun sistem ekonominya (kapitalisme), atau antithesa dari sikap itu mereka mengadopsi sistem politik Timur (Sovyet) yang komunis-sosialis.
Adapun pihak ketiga, mereka tidak ingin sepenuhnya mengadopsi sistem Barat maupun Timur. Mereka mengadopsi nasionalisme lokal dengan menjadikan Islam sebagai agama formal. Artinya, secara lahir mereka beragama Islam, tetapi hakikatnya mereka hidup dengan sistem non-Islam. Sebagian umat Islam mencari bentuk perjuangan lain: ada yang berjuang lewat jalur politik; ada yang berjuang lewat jalur ekonomi; ada yang berjuang lewat dakwah; dan ada pula yang berjuang lewat jihad, dan lain-lain. Hal inilah yang mendorong para pemikir muslim bertanya, mengapa seluruh pemikiran luar diadopsi, sedangkan sistem Islam malah dijauhi. Di antara suara nyaring dari umat Islam adalah seruan mengadopsi sistem demokrasi yang dianggap dapat menjadi jalan keluar bagi umat Islam yang tinggal berdampingan dengan masyarakat nonmuslim.
Manhaj Salaf as-Saleh
Manhaj secara bahasa berarti "jalan", adapun salaf as-saleh berarti "pendahulu yang saleh". Secara epistemologi syara', manhaj salaf as-saleh berarti jalan atau metode pemahaman Islam yang ditempuh oleh generasi terbaik yang dipimpin oleh Rasulullah saw., sahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in, atau sampai generasi ketiga, sesuai dengan sabda Nabi saw. yang artinya, "Sebaik-baik manusia yang berada pada abadku, kemudian generasi berikutnya, sampai terdapat kaum-kaum yang syahadat mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului sahadatnya." (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Hal ini juga berdasarkan Alquran yang menekankan kepada kita untuk mengikuti generasi terbaik, yaitu para sahabat dalam banyak ayat (Ali Imran: 110, An-Nisaa': 115, At-Taubah: 100, dan lain-lain). Karena, pemahaman mereka terhadap Islam paling selamat, seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Laalikaa'i, "Sesungguhnya hal yang paling wajib atas seseorang adalah makrifat terhadap din dan apa-apa yang Allah bebankan kepada hamba-hamba-Nya berupa pemahaman tauhid terhadap-Nya, sifat-sifat-Nya, dan membenarkan utusan-utusan-Nya dengan dalil keyakinan, dengan cara istidlal dengan hujjah dan penjelasan. Dan sebaik-baik ucapan dan hujjah yang rasional adalah Al-Qur'an dan sabda Rasulullah serta perkataan para sahabat, kemudian ijma' para salaf as-saleh dan berpegang teguh terhadap keseluruhannya sampai hari kiamat serta manjauhi berbagai bid'ah yang diada-adakan oleh para penyesat, sekalipun hanya mendengarkannya." (Al-Laalikaa'i, Syarah Ushul I'tiqad Ahli Sunnah wal Jama'ah, juz I, hlm. 9).
Kehidupan para salaf as-saleh dalam perjuangan hidupnya berfariasi: ada yang menjadi penguasa, ada pula yang menjadi ulama, dan yang mayoritas adalah masyarakat biasa, yang kesemuanya dalam rangka menegakkan kebenaran Ilahi. Gambaran mereka pada umumnya seperti ungkapan ruhbaanun billaili wa fursaanun bin nahaari (ahli ibadah di waktu malam dan pejoki-pejoki di waktu siang). Ungkapan Ibnu Mas'ud kepada para tabi'in, "Kalian (para tabi'in) lebih banyak puasa dan salat daripada sahabat-sahabat Muhammad saw., padahal mereka lebih baik daripada kalian. Mereka berkata, 'Apa sebabnya?' Beliau menjawab, 'Karena mereka lebih zuhud dari kalian dalam masalah dunia dan lebih mengutamakan akhirat'." Ibnu Qayyim menceritakan dalam kitabnya, I'lamul Muwaqqi'in, bahwa Ibnu Mubarak pernah ditanya, kapan seseorang boleh berfatwa, maka beliau menjawab, "Apabila dia menguasai dalil dan mengerti realitas masyarakat." Demikian pentingnya memahami realitas masyarakat dalam rangka menegakkan perjuangan Islam.
Realitas Umat Islam Hari Ini
Syekh Abdul Ghani Rahhal dalam bukunya, Umat Islam dan Fatamorgana Demokrasi, menyebutkan bahwa kemunduran umat Islam dewasa ini disebabkan empat hal.
1. Disingkirkannya sistem Islam sebagai pegangan hidup (way of life) terutama dibidang politik (siyasah syar'iyah.
2. Kekuasaan negara-negara Islam di tangan para diktator yang membenci hukum Islam.
3. Musuh-musuh Islam mencengkeram seluruh kekuatan penguasa muslim.
4. Tingkat dekadensi moral yang sangat tinggi melanda kehidupan muslim.
Namun, menurut hemat kami, kerusakan justru terletak pada kebobrokan para pemimpin dan rusaknya sistem politik buatan manusia dan amburadulnya masyarakat dari berbagai sisi. Misalnya, perjuangan lewat demokrasi yang berarti kekuasaan di tangan rakyat, bersumber dari negara Barat yang sekuler, yang memisahkan kekuasaan politik dan agama. Akibatnya, jika diterapkan di wilayah negara Islam, secara otomatis Islam tidak berperan dalam pengaturan negara. Itu berarti Islam hanya memasuki wilayah individu saja. Adapun mereka yang masih bersemangat menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, dan pada gilirannya akan diberlakukan syariat Islam, ternyata terbukti beberapa kali gagal. Kegagalan itu pernah terjadi di Mesir, Yordania, Pakistan, dan Aljazair. Bahkan, di Aljazair, setelah kemenangan mutlak di tangan Islam, secara sepihak kubu pro status quo yang didukung oleh negara-negara Barat penganut islamphobia berusaha sekuat tenaga menggagalkan kemenangan itu. Hal ini mendorong para tokoh Islam di sana untuk mengangkat senjata. Perjuangan parlementer juga pernah gagal di Indonesia. Kegagalan Masyumi mendorong kelompok M. Natsir mengangkat senjata melalui PRRI.
Menegakkan Islam dengan Cara Islam
Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara Islam. Meskipun kenyataan di lapangan banyak upaya itu dilakukan dengan beragam cara. Ada kalanya dengan cara islami namun sifatnya parsial, ada pula yang tidak islami tetapi berusaha melegitimasinya dengan dalil-dalil syar'i, dengan lebih banyak bersifat ijtihad pada saat ada dalil. Ini yang menjadi soal, sebab ijtihad hanya dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.
Karena itu, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi muslim, umpamanya, menekankan bahwa perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom muslim menganalisa, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang teguh kepada Islam agar meraka jaya, tanpa memerinci lebih jauh apa dan bagaimana realisasinya, dst ... dst. Maka, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salaf as-saleh sepanjang perjalanan sejarah perjuangan umat Islam.
Tanggung Jawab Personal
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kita mempunyai andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya." (2: 286).
"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (4: 84).
"Hai orang-orang yang beriman, selamatkan diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (66: 6).
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu."
Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu "Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (51: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik perkataan, perbuatan yang nampak, ataupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyah, hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokus kita adalah bahwa yang menjadi acuannya adalah syariat Islam. Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (5: 2).
Tanggung jawab pun semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
"Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suami dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba Allah yang melaksanakan syariat sesuai dengan kemampuannya, ia berarti berkhianat.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui." (QS 8: 27).
Dalam istilah fiqh, tanggung jawab personal itu ada fardu ain sendangkan tanggung jawab kolektif itu fardu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain. Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayahnya. Kalau tidak, seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan dari perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengotak-kotakkan masa Mekah dan masa Medinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkan secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempraktikkan sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita.
"Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (64: 16).
Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani: "Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya, dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya, dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR Daruqutni, hadis hasan).
Beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang diciptakan, karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat." (HR Abu Daud dan Tirmizi, hadis hasan).
Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Makkah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke Madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif, tetapi tidak cocok. Kemudian beliau memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian, beliau membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempatan kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama muslim dengan mempersaudarakan Muhajirin (dari Makkah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat "Piagam Madinah" untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim.
Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar. Sampai 27 kali beliau berperang, antara perang defensif dan perang ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah yaitu kepada kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat DR. Rabi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya', hlm. 87).
Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan jihad. Beliau membagi jihad ini menajdi empat bagian.
1. Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
• Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
• Berjihad dengan melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti bahkan membahayakan.
• Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
• Jihad menekan siri agar sabar terhadap cobaan berupa gangguan manusia (empat hal inilah terkandung dalm surat Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-Ashr, niscaya cukup baginya).
2. Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
• Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keraguan-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
• Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (lihat As-sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kuffar dan munafikkin, melalui empat tahap.
• Dengan kalbu.
• Dengan lisan.
• Dengan harta.
• Dengan tangan.
4. Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap. Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak dengan lisan, kalau tidak mampu minimal dengan hati. (HR Muslim).
Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, Zaadul Ma'adz, juz 3, hlm. 6--13).
Dengan demikian, telah jelas bagi kita untuk meniti jalan salaf as-saleh dan tidak terjerumus kepada metode perjuangan lain yang terbukti secara faktual telah gagal berkali-kali, seperti lewat prioritas politik, apalagi perjuangan lewat parlementer melalui demokrasi yang telah gagal lebih dari lima kali di dunia Islam. Atau, lewat metode sufi yang sedang marak digabung ekonomi atas nama manajemen qalbu atau semacamnya. Tetapi, kita perlu menempuh semua aspek integral, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, ekonomi, politik, bahkan militer. Benar kata Umar bin Khaththab r.a. dalam ungkapan spektakulernya yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimulyakan oleh Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."
Juga ucapan Imam Malik yang artinya, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam.
dikutip dari www.Alislamu.com oleh Ust Farid Udbah