Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, Mei 31, 2008

Hadits no. 44 Arba’in An-Nawawi: Persusuan

عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: (الرضاعة تحرم ما تحرم الولادة) خرجه البخاري ومسلم
“Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Persusuan mengharamkan (menjadikannya mahram) semua yang diharamkan oleh kelahiran.’” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita peran dan pengaruh persusuan dalam hal penularan kemahraman (mahramiyyah). Sebelum kita membahas lebih jauh siapa saja yang menjadi mahram kita karena adanya hubungan persusuan, ada baiknnya bila kita mengetahui kriteria persusuan yang menghasilkan kemahraman ini.
Pertama: Batas umur anak yang disusui.

Para ulama’ telah sepakat bahwa persusuan bila terjadi di saat anak berumur di bawah dua tahun, maka persusuan ini akan menghasilkan hubungan kemahraman antara anak yang menusu dengan wanita yang menyusuinya dan juga keluarga dan kerabatnya. Kesepatan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة
Artinya: “Dan para ibu hendaknya mereka menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang hendak menyempurnakan persusuan.” (QS. Al Baqarah: 233)
Dari ayat ini kita dengan jelas memahami bahwa persusuan yang wajar dan lazim berlaku ialah persusuan semasa anak berumur kurang dari dua tahun. Sehingga selama anak masih berumur dibawah dua tahun, persusuan yang diberikan kepadanya dianggap sebagai persusuan yang benar dan memiliki konsekwensi hukum dalam syariat islam. Dan menurut penelitian ilmiyyah dikatakan bahwa ASI setelah anak berumur dua tahun, tidak baik lagi untuk disusukan.
Adapun persusuan setelah anak berumur lebih dari dua tahun, maka para ulama’ berbeda pendapat, kebanyakan ulama’ (jumhur) menyatakan bahwa persusuan yang dilakukan di saat anak telah berumur lebih dari dua tahun, maka persusuan tersebut tidak ada pengaruhnya, dan tidak ada konsekwensi hukumnya. Ini adalah pendapat kebanyakan istri-istri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam Mereka berdalil dengan beberapa dalil, diantaranya ayat diatas, dan beberapa hadits, diantaranya hadits berikut:
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها وعندها رجل، فشق ذلك عليه وتغير وجهه، قالت: يا رسول الله إنه أخي من الرضاعة. فقال: (انظرن من إخوانكن، فإنما الرضاعة من المجاعة). رواه مسلم وأبو داود
“Dari ‘Aisyah rodiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari masuk ke rumah ‘Aisyah, sedangkan di sisi ‘Aisyah ada seorang laki-laki, maka hal ini menjadikan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam merasa keberatan dan raut wajah beliau-pun menjadi berubah, Melihat yang demikian ‘Aisyah berusaha menjelaskan dengan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia adalah saudaraku sepersusuan.’ Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mendengar ucapan ‘Aisyah ini bersabda: ‘Perhatikanlah oleh kalian, siapakah sebenarnya saudara (sepersusuan) kalian, karena sesungguhnya persusuan itu hanya karena rasa lapar.’” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang disebut sebagai persusuan dalam syari’at ialah persusuan yang dilakukan karena anak tersebut merasakan kelaparan bila tidak disusui. Dan biasanya anak yang telah mencapai usia dua tahun, ia sudah tidak memiliki ketergantungan dengan ASI, karena ia sudah bisa makan, dan sudah tidak merasa kelaparan karena tidak menyusu kepada ibunya. Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang mereka jadikan dasar atas pendapat ini.
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa persusuan tidak dibatasi dengan umur dua tahun, bahkan walaupun seseorang telah dewasa bila menyusu sejumlah susuan yang telah ditentukan dalam syari’at, maka ia akan menjadi anak susuan bagi wanita itu dan terjalinlah hubungan kemahraman antara keduanya, ini adalah pendapat ‘Aisyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Pendapat ini berdasarkan kisah berikut:
عن عائشة قالت: جاءت سهلة بنت سهيل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت: يا رسول الله إني أري في وجه أبي حذيفة من دخول سالم وهو حليفه. فقال النبي صلى الله عليه و سلم ارضعيه. قالت: وكيف أرضعه وهو رجل كبير؟ فتبسم رسول الله صلى الله عليه و سلم وقال: قد علمت أنه رجل كبير. زاد عمرو –الناقد- في حديثه: وكان قد شهد بدرا.
وفي رواية أن سهلة قالت: فرجعت فقالت: إني قد أرضعته فذهب الذي في نفس أبي حذيفة
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ia menuturkan: Sahlah bintu Suhail datang menemui Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya melihat rasa cemburu pada wajah Abi Huzaifah (suaminya) gara-gara Salim masuk ke rumahku, sedangkan ia adalah halifnya (bekas anak angkatnya).’ Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Susuilah dia.’ Sahla hpun merasa keheranan dan berkata: ‘Bagaimana mungkin aku menyusuinya, sedangkan ia adalah orang yang sudah besar (dewasa)?!’ Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tersenyum, dan bersabda: ‘Aku sudah tahu bahwa ia adalah orang yang sudah besar (dewasa).’ Salah seorang perawi yaitu ‘Amr An-Naqid, dalam riwayatnya menambahkan: Dan dia (Salim) telah ikut berperang dalam perang Bader. Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sahlah-pun pulang kerumahnya, lalu mengisahkan: ‘Sesungguhnya aku telah menyusuinya, dan rasa cemburu yang ada di hati Abu Hudzaifah-pun sirna.’” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(أرضعيه خمس رضعات) رواه مالك والشافعي وأحمد
“Susuilah ia sebanyak lima kali susuan.” (HR. Malik, As Syafi’i, dan Ahmad)
Riwayat kedua ini menjauhkan kemungkinan bahwa kasus ini merupakan kekhususan bagi Salim Maula Abi Huzaifah, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkannya untuk menyusuinya sebanayk lima kali, layaknya persusuan anak yang di bawah umur dua tahun. Seandainya ini merupakan kekhususan bagi Salim saja, niscaya tidak ada perlunya disusui sebanyak lima kali, dan cukup sekali saja.
Walau demikian, Imam Muslim meriwayat dari Umi Salamah rodhiallahu ‘anha, istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata:
أبى سائر أزواج النبي صلى الله عليه و سلم أن يدخلن عليهن أحدا بتلك الرضاعة، وقلن لعائشة: والله ما نرى هذا إلا رخصة أرخصها رسول الله صلى الله عليه و سلم لسالم خاصة، فما هو بداخل علينا أحد بهذه الرضاعة ولا رائينا.
“Seluruh istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam enggan bila ada seseorang yang masuk ke rumah mereka dengan sebab persusuan setelah besar semacam ini, dan mereka pun berkata kepada ‘Aisyah: ‘Sungguh demi Allah kami tidak berpendapat tentang persusuan ini, melainkan sebagai rukhshah bagi Salim secara khusus. Maka tidak akan ada seorang-pun yang masuk kerumah kami dan juga tidak akan ada orang yang melihat kami dengan sebab persusuan macam ini.’”
Sebagian ulama’ menggabungkan antara dua pendapat ini, dengan satu pendapat yang lebih moderat, yaitu: pada dasarnya persusuan hanya berlaku pada anak yang di bawah umur dua tahun, kecuali pada kasus seperti kasusnya Salim Maula Abi Huzaifah, yaitu bila sudah terlanjur memelihara anak orang lain semenjak kecil hingga dewasa, atau bila seseorang yang senantiasa terpaksa untuk masuk ke rumah seseorang, misalnya anak temuan yang dipelihara oleh seseorang (Laqith), maka persusuan boleh dilakukan walau anak itu telah berumur lebih dari dua tahun. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Sebagian ulama’ ada yang tawwaquf.
Kedua: Jumlah susuan.
‘Aisyah dan Imam Syafi’i, berpendapat: bila seorang anak telah menyusu pada seorang wanita sebanyak lima kali (Yang dihitung satu susuan yaitu bila anak tersebut menyusu kemudian melepaskannya karena telah merasa kenyang atau melepaskannya dengan sendirinya, bukan karena dipaksa untuk melepaskan atau karena kaget mendengar sesuatu atau sebab lainnya), maka ia telah menjadi anak susuan wanita itu, dan terjalin antara keduanya tali kemahraman, adapun bila kurang dari lima kali, maka tidak dihukumi sebagai susuan yang mengharamkan. Pendapat ini berdasarkan hadits berikut:
عائشة أنها قالت: كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن، ثم نسخن بخمس معلومات، فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن. رواه مسلم
“Dari ‘Aisyah rodliallahu ‘anha, ia berkata: Dahulu termasuk ayat Al Qur’an yang diturunkan ialah ayat (yang artinya): ‘Sepuluh kali susuan yang telah jelas akan menjadikan haram (keduanya untuk menikah)’, kemudian dihapuskan (dinasekh) dengan ayat (yang artinya): ‘Lima susuan yang telah jelas…’ kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam wafat dan ayat ini termasuk ayat Al Qur’an yang masih dibaca (oleh sebagian sahabat).” (Muslim)
Dawud Ad Dzahiri, Abu Tsaur, berpendapat bahwa jumlah minimal susuan yang mengakibatkan terjalinnya hubungan kemahraman antara anak dan wanita pemilik susu ialah tiga kali susuan dan selebihnya, pendapat ini berdasarkan pemahaman terhadap hadits berikut:
عن أم الفضل قالت : دخل أعرابي على نبي الله صلى الله عليه و سلم وهو في بيتي، فقال: يا نبي الله إني كانت لي امرأة فتزوجت عليها أخرى، فزعمت امرأتي الأولى أنها أرضعت امرأتي الحدثى رضعة أو رضعتين فقال نبي الله صلى الله عليه و سلم : (لا تحرم الإملاجة والإملاجتان). رواه مسلم
“Dari Ummul Fadhl, ia berkata: Ada seorang arab badui yang menemui Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam disaat beliau berada di rumahku, kemudian ia bertanya: ‘Wahai Nabi, sesungguhnya dahulu aku memiliki seorang istri, kemudian aku menikah lagi dengan wanita lain, lalu istri pertamaku mengaku bahwa ia pernah menyusui istri baruku sekali atau dua-kali susuan?’ Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Sekali susuan atau dua kali susuan, tidaklah mengharamkan.’” (Muslim)
Abu Hanifah, Imam Malik dll berpendapat bahwa walau anak tersebut baru menyusu satu kali, maka hukum persusuan telah terjalin antara keduanya. Mereka berdalil dengan dhahir firman Allah:
وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة
Artinya: “Dan diharamkan atas kamu ibu-ibumu yang menyusuimu, dan saudaramu perempuan sepersusuan.” (QS. An Nisa’: 23)
Dan juga hadits kita ini, yaitu hadits Arba’in An Nawawiyah no: 44. Mereka berkata: Secara teks, ayat dan hadits di atas tidak mensyaratkan jumlah susuan tertentu, untuk terjalinnya tali kemahraman karena persusuan.
Ketiga:
An Nawawi Dan Al Hafidh Ibnu Hajar berkata:
(الرضاعة تحرم ما تحرم الولادة) أي وتبيح ما تبيح، وهو بالإجماع فيما يتعلق بتحريم النكاح وتوابعه، وانتشار الحرمة بين الرضيع وأولاد المرضعة وتنزيلهم منزلة الأقارب في جواز النظر والخلوة والمسافرة. ولكن لا يترتب عليه باقي أحكام الأمومة من التوارث ووجوب الإنفاق والعتق بالملك والشهادة والعقل وإسقاط القصاص.
“Persusuan mengharamkan (menjadikannya mahram) semua yang diharamkan oleh (persaudaraan karena hubungan) kelahiran, maksudnya: dan juga membolehkan segala yang dibolehkan oleh tali persaudaraan karena hubungan nasab (kelahiran). Dan hal ini telah disepakati oleh ulama’ dalam hal-hal yang berhubungan dengan haramnya pernikahan dan yang berkaitan dengannya, terjalinnya kemahraman antara anak yang disusui dan anak-anak wanita yang menyusuinya, dan mereka dianggap sebagai kerabatnya dalam hal bolehnya memandang, berkhulwah, dan safar bersamanya. Akan tetapi tidak mengakibatkan terjalinnya hukum-hukum hubungan antara seorang ibu dengan anak kandungnya, misalnya masalah waris mewarisi, kewajiban menafkahi, menjadi merdeka bila sang anak memiliki/membeli budak yang ternyata ia adalah ibunya, tidak sah untuk saling menjadi saksi, kewajiban membayar diyat atas pembunuhan yang dilakukan oleh sang ibu, dan gugurnya hukum qishash bila sang ibu membunuh anak kandungnya.”
Keempat:
Hubungan kemahraman yang diakibatkan oleh persusuan, hanya berlaku pada anak yang menyusu dan juga anak keturunannya. Adapun saudara kandungnya atau ayahnya, atau ibunya atau kerabatnya yang lain, tidak berlaku pada mereka hukum persusuan ini.
Sebagai contoh bila seorang wanita bernama: ‘Aisyah, menyusui anak laki-laki yang bernama Umar dan anak perempuan bernama Laila, maka hukum kemahraman hanya terjalin antara Umar dan Laila beserta seluruh keturunannya dengan ‘Aisyah dan kerabat ‘Aisyah.
Adapun kerabat Umar, misalnya: saudara laki-lakinya atau ayahnya, atau pamannya, atau yang lain, boleh untuk menikahi ibu susu Umar, yaitu ‘Aisyah, dan juga menikahi saudara sesuannya yaitu Laila.
Al Hafizh Ibnu Hajar menukilkan dari Al Qurthubi:
والحكمة في ذلك أن سبب التحريم ما ينفصل من أجزاء المرأة وزوجها، وهو اللبن. فإذا اغتذى به الرضيع صار فيه جزءا من أجزائهما فانتشر التحريم بينهم بخلاف قرابات الرضيع.
“Dan hikmah berlakunya hukum persusuan antara anak dengan ibususu dan suaminya, sesungguhnya sebab terjadinya kemahraman adalah susu yang dihasilkan dari hasil hubungan (sebagian tubuh) wanita dan suaminya. Sehingga bila seorang anak bayi menusu air susu ini, maka di dalam tubuhnya terdapat sebagian dari tubuh keduanya, oleh karena itu terjalinlah tali kemahraman antara mereka. Beda halnya dengan kerabat anak yang menyusu tersebut.”
Kelima:
Hubungan kemahraman ini juga berlaku antara anak yang menyusu dengan suami ibu susunya dan juga kerabatnya. Maksudnya Suami yang menghamili wanita itu sehingga wanita itu mengeluarkan air susu yang disusu oleh anak tersebut.
Sebagai contoh:
Bila suami ‘Aisyah bernama Jabir, maka Jabir ini adalah ayah susuan bagi Umar, sehingga seluruh kerabat Jabir adalah kerabat susuan bagi Umar. Bila Jabir memiliki istri lain bernama Khadijah, dan darinya ia memiliki anak yang bernama Fatimah, maka Fatimah adalah saudara perempuan seayah susuan bagi Umar, dan demikian juga kerabat Jabir lainnya. Sebagaimana Khadijah adalah ibu tiri susuan bagi Umar. Ini adalah pendapat jumhur ulama’ selain Dhahiriyyah, Ibrahim bin Ulayyah dan Rabi’atur Ra’yi, dan ini juga pendapat yang rajih dan didukung oleh beberapa hadits shahih, diantaranya:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: استأذن علي أفلح أخو أبي القعيس بعد ما أنزل الحجاب، فقلت: لا آذن له حتى أستأذن فيه النبي صلى الله عليه و سلم فإن أخاه أبا القعيس ليس هو أرضعني، ولكن أرضعتني امرأة أبي القعيس. فدخل علي النبي صلى الله عليه و سلم فقلت له: يا رسول الله، إن أفلح أخا أبي القعيس استأذن فأبيت أن آذن له حتى استأذنك. فقال النبي صلى الله عليه و سلم : (وما منعك أن تأذني عمك؟ قلت: يا رسول الله، إن الرجل ليس هو أرضعني، ولكن أرضعتني امرأة أبي القعيس. فقال: ائذني له، فإنه عمك تربت يمينك. قال عروة: فلذلك كانت عائشة تقول: حرموا من الرضاعة ما تحرمون من النسب. متفق عليه
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ia mengisahkan: Aflah saudara Abul Qu’ais setelah turun ayat hijab, meminta izin untuk masuk ke rumahku, maka akupun berkata: ‘Aku tidak akan mengizinkannya hingga aku meminta izin kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, karena bukanlah sudara laki-lakinya yaitu Abul Qu’ais yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku ialah istri Abul Qu’ais.’ Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumahku, dan ak upun bertanya kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abul Qu’ais meminta izin untuk masuk ke rumah, dan aku pun enggan untuk mengizinkannya hingga aku meminta izin kepadamu.’ Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apa yang menghalangimu untuk mengizinkan pamanmu untuk masuk?’ Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki itu (Abul Qu’ais) tidak pernah menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku ialah istri Abul Qu’ais.’ Maka Beliaupun menjawab: ‘Izinkanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah pamanmu, semoga engkau senantiasa beruntung.’ Urwah (bin Zubair –perawi hadits ini dari ‘Aisyah) berkata: Oleh karena itu dahulu ‘Aisyah senantiasa berkata: ‘Haramkanlah karena hubungan persusuan, seluruh orang yang engkau haramkan karena hubungan nasab.’” (Muttafaqun ‘Alaih)
Keenam:
Dalam hal persusuan menurut sebagian ulama’ diterima persaksian satu wanita yang menyusui (ibu susu) walau hanya satu orang saja, dan tidak ada orang lain yang menguatkan persaksiannya, pendapat ini berdasarkan kisah berikut:
عن عقبة بن الحارث أنه تزوج أم يحيى بنت أبي إهاب، قال: فجاءت أمة سوداء، فقالت: قد أرضعتكما. فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فأعرض عني، قال: فتنحيت، فذكرت ذلك له، قال: (وكيف وقد زعمت أن قد أرضعتكما، فنهاه عنها) رواه البخاري
“Dari sahabat “uqbah bin Al Harits, bahwasannya ia pernah menikahi Ummu Yahya binti Abi Ihab. Kemudian pada suatu hari datang seorang wanita berkulit hitam, lalu ia berkata: ‘Sungguh aku pernah menyusui kamu berdua.’ Maka aku menyebutkan (menanyakan) hal ini kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun berpaling dariku. Kemudian aku pun bergeser (untuk menghadap kepada beliau) dan akupun kembali menanyakan hal itu kepadanya. (akhirnya) Beliau menjawab: ‘Dan harus bagaimana lagi, wanita itu telah mengaku bahwa ia pernah menyusui kamu berdua.’ Maka beliau pun melarangnya (untuk mempergauli istrinya).” (Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan:
ففارقها ونكحت زوجا غيره. رواه البخاري
“Maka ‘Uqbah-pun meninggalkannya (mencerainya) dan wanita itu pun menikah lagi dengan lelaki lain.” (Bukhari)
Akan tetapi kebanyakan ulama’ menafsirkan hadits ini, bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memaksa ‘Uqbah bin Al Harits untuk menceraikannya, akan tetapi beliau hanya menganjurkannya, dalam rangka meninggalkan syubhat. Karena bila persaksian satu orang diterima, maka akan timbul berbagai mafsadah dan fitnah, setiap kali ada wanita yang benci kepada keluarga seseorang, maka dengan mudah ia mengaku-aku bahwa ia pernah menyusui keduanya.
Pendapat ini berdasarkan keumuman ayat:
فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى
Artinya: “Dan jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, agar bila seorang ssalah satu wanita lupa, maka wanita lainnya mengingatkannya.” (QS. Al baqarah: 282)
Sebagai penutup pembahasan ini, akan saya sebutkan seluruh mahram seseorang karena hubungan nasab, agar diketahui dengan jelas mahramnya karena hubungan persusuan, sebagaimanan yang disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 23:
ولا تنكحوا ما نكح أباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة ومقتا وساء سبيلا . حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأمهات نسائكم وربائبكم اللاتي في حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم وحلائل أبناكم الذين من أصلابكم وأن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف إن الله كان غفورا رحيما
Artinya: “Dan janganlah engkau menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh orang tuamu (ayahmu), kecuali yang telah terjadi pada masa lalu, sesungguhnya yang demikian (menikahi istri ayah) ialah kekejian, kemurkaan dan seburuk-buruk jalan. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 23)
Bila diperinci, maka mahram seseorang dari nasab ialah:
1. Ibu, mencakup nenek dari ibu dan juga dari ayah, dan seterusnya.
2. Setiap wanita yang pernah dinikahi oleh ayah atau kakek dan seterusnya.
3. Anak perempuan, mencakup cucu dari anak perempuan juga dari anak laki-laki, dan seterusnya.
4. Saudara perempuan, mencakup saudara seayah dan seibu, saudara seayah, dan saudara seibu.
5. Saudara perempuan ayah (bibi/‘ammah), mencakup saudara perempuan kakek, dan seterusnya.
6. Saudara perempuan ibu (bibi/khalah), mencakup saudara perempuan nenek dan seterusnya.
7. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan), mencakup anak perempuan keponakan dari saudara laki-laki, dan seterusnya.
8. Anak perempuan saudara perempuan (keponakan), mencakup anak perempuan keponakan dari saudara perempuan.
9. Ibu istri (ibu mertua). Sehingga dalam persusuan, diharamkan atas kita untuk menikahi ibu susu istri kita.
10. Anak istri yang telah ia pergauli (rabaaib). Sehingga dalam persusuan. Bila istri kita sebelum menikah dengan kita pernah menyusui seorang anak perempuan, maka haram atas kita untuk menikahi anak susuan istri kita.
11. Istri anak kandung laki-laki (halaailul abna’). Sehingga dalam persusuan, ayah susu, haram untuk menikahi istri anak laki-laki susuannya.
12. Menggabungkan antara dua wanita yang bila salah satunya adalah laki-laki, maka haram atas mereka untuk menikah, hal ini mencakup:
A. Menggabungkan antara dua wanita bersaudara.
B. Menggabungkan antara seorang wanita dengan bibiknya, ini berdasarkan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لا تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها) متفق عليه
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidak boleh seorang wanita dinikahi bersama saudara wanita ayahnya (’ammah) juga tidak bersama saudara wanita ibunya (khalah).” (Muttafaqun ‘Alaih)
Bila mahram karena pertalian nasab telah jelas, maka mahram karena pertalian persusuan sama dengan pertalian nasab. Semoga dengan penjelasan ini maksud dan kandungan hadits telah jelas bagi kita semua, amiin.
والله تعالى أعلم، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
dari www.muslim.or.id

0 komentar